Jumat, 13 Maret 2009

SEPATU KAYU CINDERELLA

Cinderella panik
Memandang sepatu kanannya yang melambai lembut di pucuk arus banjir
“Tolong…sepatuku..sepatuku…” jeritnya di antara orang-orang yang melongo
semua diam, sampai seorang pemuda berpuisi. Dari badannya yang kerempeng itu terlihat jelas posisi tulang-tulang rusuknya, bibirnya biru, dan siapa yang tahu, apalagi yang mengerut di tubuh kisutnya yang menggigil itu?

“Maaf Nona… bukan tak mau membantu
Padi kami hancur
Ternak kami tenggelam
rumah kami lenyap
Demi sebelah sepatu, rasanya tak berani
mempertaruhkan selembar nyawa yang tersisa
penghangat badan yang mengerut ini…”

Suara perut yang lapar menjadi penutup monolognya kali itu. Orang-orang yang tadinya lesu memandangi seluruh sejarah hidupnya ditelan banjir, tertawa terbahak-bahak.

Cinderella tertunduk geli, hendak tersenyum tapi malu, lalu melepas sepatu kirinya,
menyerahkannya pada tubuh air di bawah
Apa boleh buat…ternyata Sang Pangeran tidak muncul kali ini
Ia memang lebih baik membantu rakyatnya yang sengsara
Tapi, siapa tahu, di suatu tempat di luar sana,
seorang pangeran lain menemukan sepatu ini
(atau jangan-jangan, zaman ini memang tak melahirkan pangeran lagi?)

Di tepi laut, seorang nelayan tua menebar jalanya dengan tersengal
Setiap kali banjir di hulu sungai, ikan-ikan di muara pergi entah ke mana.
Terkutuklah mereka yang menebangi hutan-hutan seenaknya dan mencemari laut ini

Tapi setiap kali, bagaimanapun, memang harus ada yang dibawa pulang, itu janjinya
Setiap kali, kepada diri sendiri
Ikan, botol, atau plastik, atau kaleng
sama saja, yang penting jadi duit
Sampai ketika sebuah sepatu kayu yang cantik menyangkut di jalanya
dia terdiam dan kagum
Membayangkan kaki mungil seorang putri yang begitu pas di sana
Membayangkan masa mudanya yang penuh gejolak dan hasrat berapi-api
Banteng liar, begitu julukannya dulu, melegenda di seluruh pelabuhan

Tapi, zaman berlalu membuatnya realistis
Sepatu cantik, tanpa sebelah lagi, apa gunanya
Ia memandang cermat dan mengayuh melewati bangkai, batang-batang pisang, rumput, dan ribuan benda-benda penyok, tapi tak menemukan apa yang dicari
Sampai matahari meninggi
Di tepi dermaga, kopi dijerang mendidih di atas api dari sepatu kayu
Yogyakarta, 2008

Tidak ada komentar: