Rabu, 28 Mei 2008

TAK PERNAH- 29 APRIL - 01 MEI 2008

Aku sedang membaca saat kau datang dan berkata “Aku tak bisa tidur kalau masih ada cahaya” dan sesudahnya mematikan lampu
Untuk kesekian kalinya ini terjadi dan aku sudah malas menyalakan lampu hanya untuk kaumatikan lagi
Maka kemudian kututup buku itu dan mencoba memfokuskan pandang dalam gelap saat kau mulai terlelap

Di luar sedang purnama, dan perlahan sinarnya menembus atap dan menari pelan di wajahmu
Tapi kau tetap tertidur dan wajah damaimu menjadi bayi dalam pelukan ibunya

Tapi, memang ada tanda-tanda yang membuatku sadar, kita sudah bertambah tua
Kau sudah terbiasa tidur lebih cepat dan mematikan lampu
Aku sudah terbiasa menulis cepat dan kehabisan ide di tengah jalan
Padahal dulu, kita terbiasa bicara sampai jauh malam, berdiskusi tentang rencana sekolah anak-anak, asuransi dan kredit rumah mana yang paling tepat buat kita, serta anjing jenis apa yang sebaiknya kita pelihara. Kita bahkan pernah mencaritahu berapa harga kapling tanah di satu pekuburan elit, walau hanya sekilas

Akhir-akhir ini, kita pun sudah jarang berbicara (padahal kita mengaku masih saling cinta)
Aneh bukan, padahal orang-orang masih terus membuat lagu, puisi, dan film tentang cinta
Bunga-bunga dan rerumputan masih tumbuh dan mekar setiap hari
Pelangi masih sering terlihat sehabis hujan dan matahari belum pernah alpa terbit

Tak bisa kupungkiri, memang akhir-akhir ini aku ingin sekali mendengarkan suaramu
Sebab aku belum memberitahumu satu rahasia, bahwa persahabatanku dengan bunyi sudah memudar dan mungkin akan hilang
Menurutku, telingaku sudah rusak, padahal dokter spesialis THT langgananku mengatakan dengan yakin “Secara medis tidak ada masalah”
Karena itu, mumpung belum rusak betulan, aku akan mendengarkan sebaik-baiknya dan merekam kesan dalam ingatanku, berulang-ulang sampai tidak mungkin hilang lagi
Seperti kebiasaanku mendengarkan ketukan hujan di atap dan setelahnya menyanyikannya di kamar mandi

Kisah kita memang bukan jenis dongeng di masa kecil, yang biasa dimulai dengan kata-kata “Pada suatu hari…”, atau “Konon kabarnya…”. Juga tidak berawal dalam perjalanan dengan gondola di sungai yang tenang sambil mendengarkan lagu cinta dalam nada tenor di bawah siraman purnama. Mungkin juga belum bisa dibandingkan dengan benih yang dipendam di tanah lembab yang tipis pada sore hari dan entah bagaimana sudah memperlihatkan tunas lembut kehijauan keesokan paginya. Aku jelas tak tahu berawal di mana, tapi kelanjutannya kita sudah sampai di sini, dan diam-diam masih kubayangkan bagaimana semua ini akan berakhir.

Tak pernah benar-benar kutakutkan kebisuanmu, seperti saat ini

05 APRIL 2008 –Apalagi yang Ditunggu

Apalagi yang ditunggu
Rumput kering membentang berbukit-bukit dari padang sisa kemarau
Tinggal sulutkan sebatang korek api
Lalu ambil sebuah jimbe-dan mainkan irama perang bertempo cepat
Maka lidah-lidah api akan menari-nari di luasan angkasa
Dan tenggelamlah nyanyian rumput kering yang selama ini menanti hujan
Benar kawan, kau salah arah…jangan kaucari pepohonan, apalagi hutan di sini
Sudah berpulh-puluh tahun mereka diusir pergi

Apalagi yang ditunggu
Dendam pun mampu beranak-pinak berlipat-lipat lebih cepat dari tikus
Hasilnya generasi demi generasi dibaringkan tanpa nisan di bukit-bukit ini
Menjadi pupuk untuk ladang ilalang
Yang berkerisik setiap kali bertemu angin

Apalagi yang ditunggu, kawan
Kaki-kaki kita sudah menjejak tanah ini
Lakukanlah yang kau mau
Jika tidak
Baiklah kita duduk saja dan bicara tentang cinta
Walaupun naïf, tapi bukan lagi dari jenis yang cengeng tentang patah hati

Mungkin kita bisa merancang untuk menjadi petani bunga sambil menanam pepohonan
Amarah di panas mentari, kegetiran dalam derai hujan, dendam yang terkubur di tanah, dan kesedihan yang mengawang di udara, mungkin bisa menjadi unsur-unsur paling baik untuk menumbuhkan keteduhan dari bukit tandus ini…
Untuk mengingatkan kita bahwa cintalah yang membuat semesta masih bertahan dan manusia belum punah
Dan sebenarnya cintalah, bukan dendam, yang memampukan kita sampai di sini, melalui ribuan malam beku


Maka sebaiknya kita mulai mencari tunas pohon dan bunga-bunga, lalu menanamnya
Biarlah hujan dan matahari, udara dan tanah, dan semua unsur di alam membesarkannya
Biarlah kehidupan berseri dari semarak hijau daun-daunnya
Dan marilah berharap Tuhan mengutus burung-burung kecil untuk singgah dan bersarang di carang-carangnya
Dan kembali ramai bernyanyi setiap pagi

03 April 2008 & 06 Mei 2008- MENGETUK

Hari itu ia kembali berdiri di depan pintu besar yang kukuh. Beberapa kali, dalam tahun-tahun yang sudah berlalu, ia datang dan mengetuk. Pertama-tama, ia benar-benar ingin supaya pintu itu terbuka dan ia diperbolehkan masuk. Selanjutnya, ia mulai berharap bahwa pintu itu terbuka dan sejenak orang di baliknya mau menyapanya. Kemudian, seiring bergulirnya waktu, ia mengaku bahwa ia hanya ingin memuaskan rasa penasarannya terhadap apa yang ada di balik pintu itu. Akhir-akhir ini, ia menemukan bahwa keinginannya untuk datang setiap kali dan mengetuk, adalah representasi terhadap keinginannya untuk tetap eksis. Ia menemukan bahwa rasanya janggal saja ketika ia tidak datang dan mengetuk. Ia baru merasa ia ada ketika ia datang lagi dan mengetuk lagi. Demikianlah hari-harinya berlalu dalam pencarian yang sudah menjadi rutinitas belaka.

Kemudian, ia kembali ke sarangnya, menyalakan lilin dan mematikannya lagi. Menyalakan lalu mematikan lagi, dalam sikap yang hikmat sebagaimana doa. Dan ia berpikir sejenak, mungkin sebaiknya tidak ada pintu saja. Jadi, dia tak perlu datang lagi. Atau, bagaimana jika dia tak punya tangan lagi? Atau, jangan-jangan memang tidak ada ruangan apapun di balik pintu itu.

Ah, mengapa harus pusing-pusing untuk urusan yang tak jelas? Toh, dia kan bukan penyair nyentrik yang setiap kali merasa perlu menuliskan hal-hal ganjil, sekedar untuk menarik pembaca. Toh, pintu tidak selalu menjadi jalan untuk masuk. Pintu seringkali dimaksudkan untuk menghalangi orang yang tak diinginkan masuk dan membuat onar. Bukankah memang demikian?

Malam bertambah larut. Jalanan kian lengang. Daun-daun luruh diam-diam. Angin mati. Sepi

Lalu hujan. Bau tanah basah menguar. Terdengar suara hujan menyentuh atap. Mengetuk ramai-ramai, lalu perlahan-lahan, ramai lagi, demikian seterusnya. Ia lalu berpikir, selain karena gravitasi dan massa air, juga bentuknya yang bulat-bulat-seperti titik, apalagi yang membuat ketukan hujan di atas atap bisa begitu bersemangat, seperti rentak kaki barisan prajurit? Apa juga yang membuatnya bisa terdengar sendu, seperti tangis yang disembunyikan diam-diam, tapi tetap terdengar?

Yang Ada-05- Mei 2008

Ada selaput tipis yang dengan lembut menjadi pemisah antara “Selamat Tinggal” dengan “Sampai Bertemu Kembali”

Ada warna tak kasat mata yang diam-diam menjadi pembeda antara jabatan tangan dengan kata yang tak selesai diucapkan

Ada tangis yang menguap di bawah matahari dan nyanyian yang ikut mengalun dalam deraian hujan

Ada lintasan untuk mengerahkan setiap tetes keringat, detakan jantung, dan helaan napas untuk pertarungan sekali dan selamanya

Ada kesempatan untuk mengerti, bahwa yang masih hendak dicari jadi sebab untuk terus berlari, dan semua yang ada hari ini adalah anugrah untuk disyukuri

Mungkin masih ada peluang, untuk mengguratkan kisah baru yang terpilih, pada kepingan bambu, atau andesit, atau, lempengan baja, pada masa yang baru. Dan seandainya pun tidak, biarlah yang sudah ada terbuka atau tertutup saja, dibaca atau dimakan rayap, dikenang atau dilupakan

Dan memang, ada saatnya tuliskan bagian penutup pada masa lalu dan menaruh titik tepat di ujung kertas

(ditulis setelah pembotakan selesai-Senin dinihari)