Selasa, 21 Oktober 2008

PERNAH-171002008

Pernah kucintai dirimu, Perempuan,
walau tak kupahami arti cinta
Bahkan ketika benteng kaca di sekelilingmu kian tinggi dan tebal
Kaca itu kuat, tetapi getas (maka keruntuhannya pasti membawa luka)
Maka dari seberang sini, kukatakan saja
Pernah kucintai dirimu, Perempuan,
walau belum juga kupahami arti cinta

09102008-akhirnya hujan turun

akhirnya hujan turun
sepanjang malam tadi, membonceng beberapa petir menggelegar
rumput-rumput kembali akan tumbuh di tanah
yang sering kutulisi namamu
kemarin sore, entah mengapa juga masih kulakukan hal yang sama
dan hujan itu pasti sudah menghapusnya
tapi diam-diam aku ragu…kian ragu
saat sebuah pertanyaan berkelebat saat kilat menyergap
benarkah hanya hujan itu saja yang melakukannya?
Lalu muncul-mengatasi deru hujan-bisikan
“bukan hanya hujan itu saja yang menghapusnya…bukan hanya hujan…”
maka diam-diam kudengarkan detak-detak jam di dinding, yang seperti selalu berahasia di antara detik-detiknya

DEFINISI SUNYI-06102008

Sunyi adalah…
Jeda panjang yang tercipta setelah lagu sumbang mengalun dari kerongkongan seorang bocah pengamen di simpang jalan, dan selanjutnya hanya malam hitam-bukan uang receh-yang meluncur pasti ke dalam wadah plastik kosong di tangannya…

Lagu Sebelum Hujan-01102008

Sudah ujung kemarau
Dan sore masih terlalu kering
Kelat merayapi pangkal lidah

Perlahan kukemas barang-barangku
Persiapan lanjut, mencari arti yang tersembunyi
antara serbuk malam terapung atap-atap rumah
antara lapis angin salutkan debu
pada dedaunan sepanjang jalan gersang
pada pucuk-pucuk rumput meranggas coklat

setelah ribuan pertemuan
aku ingin pergi
karena mimpi
tahu tak pasti

“aku datang untuk pamit hari ini
Perempuan…”
Tapi untuk kali terakhir
Sebelum benih-benih hujan tumbuh
Aku hendak bertanya
“bagaimana mengeja namamu?”

PURNAMA

---------------20-21 Juli 2008
purnama
aku akan mati, kataku
dan tak seorang pun akan mengingat namaku***

(setiap satu bulan, purnama hadir mengitari bumi
dengan mata bundar-kue serabinya
penasaran mencari mata-mata lapar yang dulu sering memandanginya)

kata yang berkerisik ngilu di antara bilah ilalang
yang ikut mengalir di dalam pembuluhku
tertahan
sampai pecah akhirnya
membuih melewati malam-malam
tersaji dalam sepiring waktu
setelah sekian lama menunggu, sekarat kini

terpampang di depanku burung-burung bangkai
menari di luasan angkasa
berpatokan pada laporan akhir
siapa yang bakal dijemput maut hari ini

purnama
jangan bertanya lagi di mana akhirnya
atau di bagian mana kau akan abadi
setelah kematianku kau bakal mendapat kesempatan untuk menyimpulkan ini semua
sebab bagian penutup akan kukosongkan untukmu

********
sejak ayam belum berkokok, penyair itu sudah sibuk mendandani kata, memblow rambutnya, mencoba sanggul, memberi eye shadow dan lipstick, mengoleskan alas bedak, lalu bedak, sampai menor, seperti banci kaleng di simpang jalan solo. Tapi selalu saja dirasanya ada yang kurang, entah di mana dia tak tahu pasti

hei penyair amatir, mau bertandang ke negeri imajinasi saja kok ribet amat. Payah lu!

***variasi dari NESSUN DORMA-nya PUCCINI- dilagukan PAVAROTTI dkk

MIE REBUS DAN KOPI-Agustus 2008

(Setelah menyingkap beberapa tabir gerimis, akhirnya kutemukan juga kau sedang berjongkok di depan tungku. Menghalau asap untuk hadirkan api. Pastinya enak sekali, makan mi rebus sambil menyeduh kopi, dingin-dingin begini. Pikirku, mulai merancang-rancang)
“Nebeng yah…”
(aku, berharap seperti biasa kau akan bersedia memasak untukku)
“Boleh” katamu pelan.

(Namun, sekian lama api berkobar, panci berisi air tak juga kau jerang)
“kayaknya kayunya hampir habis tuh…”
(aku tak sabar lagi ingin menikmati mi rebus dan kopi)
“Biarin”
“dingin-dingin makan mi rebus enak lho…”
(aku mencoba-coba memancing)
“Bukankah kau bisa lihat aku sedang memasak”

(aha…walaupun retoris, sebuah kalimat panjang dalam percakapan yang tadinya dingin adalah sebangun dengan sebuah pintu berkarat, yang setelah terbuka akan sulit ditutup lagi)

Iya sih, tapi kayaknya tinggal menjerang air saja yang masih kurang” kataku. “kubantu yah?”
(beberapa ular penggoda mulai melata mencari posisi untuk memulai penaklukan)
“bentar lagi matang, kok. Tunggu aja”
(balasanmu sungguh datar, sepertinya mantra-mantraku kurang manjur kali ini.)

(aihhh…percakapan ini kian absurd saja. Tapi, mau tidak mau, alur yang satu ini harus kuikuti dulu. Berdasarkan Teori Perang Sun Tzu, lawan dan cuaca, selain medan tempur dan diri sendiri, adalah dua faktor menentukan jika ingin memenangkan pertempuran.)
“oh…gitu ya? Ya udah, gini aja deh, ntar kalau matang bagi aku ya…tapi ngomong-ngomong kamu lagi masak apa sih?
“Batang-batang puisi…”
“macam betul aja. Puisi mana bisa dimakan?” kataku lemas,
(bayangan mi rebus dan kopi panas sudah menguap bersama asap yang ditelan senja.)
“Bisa. Dengan catatan mimpi-mimpimu juga bisa kauubah jadi uang…” simpulmu, perlahan, tapi tajam dan efektif seperti siletan pencopet di kereta ekonomi malam.

(saudara-saudara, kalau anda sekalian pernah membaca dongeng-dongeng di masa kecil seperti kisah kancil dan serigala, maka saat ini aku sedang menjadi serigala yang terjebak kedinginan di suatu lubang yang diterpa hujan. Menggigil dan kelaparan, sementara sang kancil enak-enak bernyanyi di di atas sana, di suatu tempat teduh yang hangat. Tadinya sang serigala berniat menangkap si kancil, tapi terperdaya sampai terperosok ke lubang. Serigala yang gengsi, akhirnya melipat tangan dan pura-pura berpantang makan, tak menghraukan kancil yang sedari tadi bernyanyi mengejeknya. Kancil penasaran saat melihat serigala duduk tenang di dalam lubang di bawah hujan. Nyanyiannya terhenti. “Wahai saudaraku dari bangsa serigala yang saleh, sungguh mengharukan melihatmu dalam posisi hikmat begini. Tapi maaf, bukan maksudku mengganggu ibadahmu. Mengapa ada bunyi-bunyian aneh dari perutmu?” Serigala, yang tetap tak mau kehilangan muka, menjawab “Ah. Saudaraku. Itu adalah doa syukur dari perutku kepada Sang Pencipta atas hujan ini….

SUARA DI MALAM BUTA-JULI-OKTOBER 2008

MENIRU JOKPIN:

Kentutku meraung-raung histeris di belantara malam
Astaga!!! Setiap aku kelaparan, mengapa bunyi-bunyian itu selalu hadir, mengalun?
Mengapa selalu ada saja proklamasi ke seluruh dunia?

Oh…malam yang sungguh rimba bin liar
Bisakah kita bersekongkol sejenak dalam permufakatan jahat yang mini saja?
Untuk menganggap nada-nada sumbang itu cikal bakal dari sebuah symphony indah, atau rhapsody yang megah?

Cahaya-18 Juli 2008

Manusia menuntut Tuhan untuk memberikan cahaya
Petisi disusun
Spanduk dipasang
Pamflet disebar
Agitasi dan propaganda dikobarkan

BELUM CUKUP!
Massa dikerahkan
Revolusi dirancang


LEBIH GILA LAGI!!
Hutan-hutan ditebang
Segala laut diracuni
Virus mematikan dibiakkan
Senjata biologis dikembangkan
Bom nuklir dilahirkan

TUJUANNYA SATU:
Apabila cahaya tidak diberikan
Bumi akan dihancurkan

PESANNYA SATU:
Dalam waktu sekian detik saja, manusia mampu hancurkan
semua yang indah yang Tuhan berikan

Tuhan yang sabar, dalam Kemahakuasaan-Nya yang begitu perkasa
tidak menghukum manusia yang pongah itu
Padahal kalau mau…

Diberinya cahaya yang lembut dalam hangatnya fajar, yang menyegarkan pagi, membuat tanaman menggeliat, dan burung-burung bernyanyi..

Lalu, bagaimana kelanjutan kisah dari manusia-manusia pongah tadi
Di bawah cahaya mereka menemukan bayangannya masing-masing, panjang dan legam
Dan terbirit-birit lari ke liang-liang hitam, dan dari dalam kegelapan itu masih saja memaki-maki.

ENTAH APA MAUNYA…!?!?!?


(versi panjang dari konsep: manusia-manusia pongah menuntut kepada Tuhan dengan segala cara untuk memberikan cahaya-setelah cahaya diberi, mereka menemukan bayangannya dan malah lari terbirit-birit ke liang-liang hitam. Entah apa maunya…!?!?!?!. Cahaya: kebebasan-pengetahuan, dst. )

LAGUMU KENANGAN, IBU-

Kenanganmu, Ibu
Tikar pandan dari masa kanak-kanak tiga bocah laki-laki
Angin dan kentut ikut menyelinap di rongga-rongganya
Nyamuk mencari darah dari donor
Kaki-kaki mungil yang tak juga tuntas ditutupinya rapat-rapat

Kenanganmu, Ibu
Batuk bapak yang menggema bahkan dari panci dan periuk
Asap rokok yang lebih kemenyan dari dupa di kuburan
mengepul di seluruh ruang
Juga mata merahnya itu, saban habis kalah berjudi

Aku tak juga paham, Ibu
Mana yang lebih pemalu, ragu atau waktu
Saat kau bersenandung lagu itu, selalu
Ketika berjongkok di depan tungku, subuh-subuh
Juga mencabuti ubanmu yang hadir satu-satu
Atau saat tikar pandan tua itu berpindah ke halaman belakang
Menjadi hak milik kepik dan tungau, jamur dan cendawan
dan anak-anak itu tak lagi menghitung bintang
dari robeknya yang terus menganga
juga berebut kerak-kerak mimpi di dasar periuk

Aku lebih tak tahu, Ibu
Mana yang lebih menyakitkanmu
Apakah saat anak-anak itu tak hafal lagi jalan pulang menuju rumah
Atau saat lelaki itu ambruk
dan seorang perempuan berambut legam ikut mendaki
ke bukit kapur tempatnya berkubur

Yang kutahu, Ibu
Sesekali kau masih menyisir rambut putihmu yang tipis
kau masih setia membakar kayu jadi abu
Dan kau juga masih terus mencabuti rumput di bukit kapur itu

Aku masih ingin bertanya, Ibu
Sebenarnya masih adakah yang tak dirampas waktu darimu
Seperti biasa, kau malah nyanyikan kembali lagu yang itu
Yang tak juga kutahu judulnya
Yogyakarta, Juni-Juli 2008

Kamis, 09 Oktober 2008

KISAH LELAKI TUA-MEI 2008

1. di depan meja penuh hidangan
lelaki tua itu
memakai gigi palsunya

2. mencoba mengingat kembali
bintang-bintang di langit, perahu, jala
ikan-ikan hiu, malam-malam panjang,
juga asin lautan yang masih terkecap di darahnya

3. lalu matador yang mendengus dan banteng-banteng kelelahan
bertarung di bawah matahari yang selalu terbit
juga sorak-sorai penonton pada petinju yang gemetar di atas ring

4. sayup terdengar dalam derai hujan
gelegak cinta dari masa muda
masih mungkinkah kembali hujan dan bergerak menghilir?

5. sekali ini, dia benar-benar ingin sendiri
menyatu dengan adonan malam yang sedang mendingin
untuk pamerkan hasilnya
yang beku tercetak besok pagi
mungkin

6. tapi, ia masih terganggu oleh noraknya kenangan
apakah ia menyesal
tak meninggalkannya dulu di padang perburuan yang kerontang
di antara singa-singa yang menguap
dan membiarkan alam mewarnainya sampai pudar

7. tiba-tiba ia teringat peperangan
ambulans dan prajurit berdarah, kota terbakar dan jembatan rusak
lalu ia teringat peluru

-Yogyakarta, Mei 2008