Selasa, 21 Oktober 2008

PERNAH-171002008

Pernah kucintai dirimu, Perempuan,
walau tak kupahami arti cinta
Bahkan ketika benteng kaca di sekelilingmu kian tinggi dan tebal
Kaca itu kuat, tetapi getas (maka keruntuhannya pasti membawa luka)
Maka dari seberang sini, kukatakan saja
Pernah kucintai dirimu, Perempuan,
walau belum juga kupahami arti cinta

09102008-akhirnya hujan turun

akhirnya hujan turun
sepanjang malam tadi, membonceng beberapa petir menggelegar
rumput-rumput kembali akan tumbuh di tanah
yang sering kutulisi namamu
kemarin sore, entah mengapa juga masih kulakukan hal yang sama
dan hujan itu pasti sudah menghapusnya
tapi diam-diam aku ragu…kian ragu
saat sebuah pertanyaan berkelebat saat kilat menyergap
benarkah hanya hujan itu saja yang melakukannya?
Lalu muncul-mengatasi deru hujan-bisikan
“bukan hanya hujan itu saja yang menghapusnya…bukan hanya hujan…”
maka diam-diam kudengarkan detak-detak jam di dinding, yang seperti selalu berahasia di antara detik-detiknya

DEFINISI SUNYI-06102008

Sunyi adalah…
Jeda panjang yang tercipta setelah lagu sumbang mengalun dari kerongkongan seorang bocah pengamen di simpang jalan, dan selanjutnya hanya malam hitam-bukan uang receh-yang meluncur pasti ke dalam wadah plastik kosong di tangannya…

Lagu Sebelum Hujan-01102008

Sudah ujung kemarau
Dan sore masih terlalu kering
Kelat merayapi pangkal lidah

Perlahan kukemas barang-barangku
Persiapan lanjut, mencari arti yang tersembunyi
antara serbuk malam terapung atap-atap rumah
antara lapis angin salutkan debu
pada dedaunan sepanjang jalan gersang
pada pucuk-pucuk rumput meranggas coklat

setelah ribuan pertemuan
aku ingin pergi
karena mimpi
tahu tak pasti

“aku datang untuk pamit hari ini
Perempuan…”
Tapi untuk kali terakhir
Sebelum benih-benih hujan tumbuh
Aku hendak bertanya
“bagaimana mengeja namamu?”

PURNAMA

---------------20-21 Juli 2008
purnama
aku akan mati, kataku
dan tak seorang pun akan mengingat namaku***

(setiap satu bulan, purnama hadir mengitari bumi
dengan mata bundar-kue serabinya
penasaran mencari mata-mata lapar yang dulu sering memandanginya)

kata yang berkerisik ngilu di antara bilah ilalang
yang ikut mengalir di dalam pembuluhku
tertahan
sampai pecah akhirnya
membuih melewati malam-malam
tersaji dalam sepiring waktu
setelah sekian lama menunggu, sekarat kini

terpampang di depanku burung-burung bangkai
menari di luasan angkasa
berpatokan pada laporan akhir
siapa yang bakal dijemput maut hari ini

purnama
jangan bertanya lagi di mana akhirnya
atau di bagian mana kau akan abadi
setelah kematianku kau bakal mendapat kesempatan untuk menyimpulkan ini semua
sebab bagian penutup akan kukosongkan untukmu

********
sejak ayam belum berkokok, penyair itu sudah sibuk mendandani kata, memblow rambutnya, mencoba sanggul, memberi eye shadow dan lipstick, mengoleskan alas bedak, lalu bedak, sampai menor, seperti banci kaleng di simpang jalan solo. Tapi selalu saja dirasanya ada yang kurang, entah di mana dia tak tahu pasti

hei penyair amatir, mau bertandang ke negeri imajinasi saja kok ribet amat. Payah lu!

***variasi dari NESSUN DORMA-nya PUCCINI- dilagukan PAVAROTTI dkk

MIE REBUS DAN KOPI-Agustus 2008

(Setelah menyingkap beberapa tabir gerimis, akhirnya kutemukan juga kau sedang berjongkok di depan tungku. Menghalau asap untuk hadirkan api. Pastinya enak sekali, makan mi rebus sambil menyeduh kopi, dingin-dingin begini. Pikirku, mulai merancang-rancang)
“Nebeng yah…”
(aku, berharap seperti biasa kau akan bersedia memasak untukku)
“Boleh” katamu pelan.

(Namun, sekian lama api berkobar, panci berisi air tak juga kau jerang)
“kayaknya kayunya hampir habis tuh…”
(aku tak sabar lagi ingin menikmati mi rebus dan kopi)
“Biarin”
“dingin-dingin makan mi rebus enak lho…”
(aku mencoba-coba memancing)
“Bukankah kau bisa lihat aku sedang memasak”

(aha…walaupun retoris, sebuah kalimat panjang dalam percakapan yang tadinya dingin adalah sebangun dengan sebuah pintu berkarat, yang setelah terbuka akan sulit ditutup lagi)

Iya sih, tapi kayaknya tinggal menjerang air saja yang masih kurang” kataku. “kubantu yah?”
(beberapa ular penggoda mulai melata mencari posisi untuk memulai penaklukan)
“bentar lagi matang, kok. Tunggu aja”
(balasanmu sungguh datar, sepertinya mantra-mantraku kurang manjur kali ini.)

(aihhh…percakapan ini kian absurd saja. Tapi, mau tidak mau, alur yang satu ini harus kuikuti dulu. Berdasarkan Teori Perang Sun Tzu, lawan dan cuaca, selain medan tempur dan diri sendiri, adalah dua faktor menentukan jika ingin memenangkan pertempuran.)
“oh…gitu ya? Ya udah, gini aja deh, ntar kalau matang bagi aku ya…tapi ngomong-ngomong kamu lagi masak apa sih?
“Batang-batang puisi…”
“macam betul aja. Puisi mana bisa dimakan?” kataku lemas,
(bayangan mi rebus dan kopi panas sudah menguap bersama asap yang ditelan senja.)
“Bisa. Dengan catatan mimpi-mimpimu juga bisa kauubah jadi uang…” simpulmu, perlahan, tapi tajam dan efektif seperti siletan pencopet di kereta ekonomi malam.

(saudara-saudara, kalau anda sekalian pernah membaca dongeng-dongeng di masa kecil seperti kisah kancil dan serigala, maka saat ini aku sedang menjadi serigala yang terjebak kedinginan di suatu lubang yang diterpa hujan. Menggigil dan kelaparan, sementara sang kancil enak-enak bernyanyi di di atas sana, di suatu tempat teduh yang hangat. Tadinya sang serigala berniat menangkap si kancil, tapi terperdaya sampai terperosok ke lubang. Serigala yang gengsi, akhirnya melipat tangan dan pura-pura berpantang makan, tak menghraukan kancil yang sedari tadi bernyanyi mengejeknya. Kancil penasaran saat melihat serigala duduk tenang di dalam lubang di bawah hujan. Nyanyiannya terhenti. “Wahai saudaraku dari bangsa serigala yang saleh, sungguh mengharukan melihatmu dalam posisi hikmat begini. Tapi maaf, bukan maksudku mengganggu ibadahmu. Mengapa ada bunyi-bunyian aneh dari perutmu?” Serigala, yang tetap tak mau kehilangan muka, menjawab “Ah. Saudaraku. Itu adalah doa syukur dari perutku kepada Sang Pencipta atas hujan ini….

SUARA DI MALAM BUTA-JULI-OKTOBER 2008

MENIRU JOKPIN:

Kentutku meraung-raung histeris di belantara malam
Astaga!!! Setiap aku kelaparan, mengapa bunyi-bunyian itu selalu hadir, mengalun?
Mengapa selalu ada saja proklamasi ke seluruh dunia?

Oh…malam yang sungguh rimba bin liar
Bisakah kita bersekongkol sejenak dalam permufakatan jahat yang mini saja?
Untuk menganggap nada-nada sumbang itu cikal bakal dari sebuah symphony indah, atau rhapsody yang megah?

Cahaya-18 Juli 2008

Manusia menuntut Tuhan untuk memberikan cahaya
Petisi disusun
Spanduk dipasang
Pamflet disebar
Agitasi dan propaganda dikobarkan

BELUM CUKUP!
Massa dikerahkan
Revolusi dirancang


LEBIH GILA LAGI!!
Hutan-hutan ditebang
Segala laut diracuni
Virus mematikan dibiakkan
Senjata biologis dikembangkan
Bom nuklir dilahirkan

TUJUANNYA SATU:
Apabila cahaya tidak diberikan
Bumi akan dihancurkan

PESANNYA SATU:
Dalam waktu sekian detik saja, manusia mampu hancurkan
semua yang indah yang Tuhan berikan

Tuhan yang sabar, dalam Kemahakuasaan-Nya yang begitu perkasa
tidak menghukum manusia yang pongah itu
Padahal kalau mau…

Diberinya cahaya yang lembut dalam hangatnya fajar, yang menyegarkan pagi, membuat tanaman menggeliat, dan burung-burung bernyanyi..

Lalu, bagaimana kelanjutan kisah dari manusia-manusia pongah tadi
Di bawah cahaya mereka menemukan bayangannya masing-masing, panjang dan legam
Dan terbirit-birit lari ke liang-liang hitam, dan dari dalam kegelapan itu masih saja memaki-maki.

ENTAH APA MAUNYA…!?!?!?


(versi panjang dari konsep: manusia-manusia pongah menuntut kepada Tuhan dengan segala cara untuk memberikan cahaya-setelah cahaya diberi, mereka menemukan bayangannya dan malah lari terbirit-birit ke liang-liang hitam. Entah apa maunya…!?!?!?!. Cahaya: kebebasan-pengetahuan, dst. )

LAGUMU KENANGAN, IBU-

Kenanganmu, Ibu
Tikar pandan dari masa kanak-kanak tiga bocah laki-laki
Angin dan kentut ikut menyelinap di rongga-rongganya
Nyamuk mencari darah dari donor
Kaki-kaki mungil yang tak juga tuntas ditutupinya rapat-rapat

Kenanganmu, Ibu
Batuk bapak yang menggema bahkan dari panci dan periuk
Asap rokok yang lebih kemenyan dari dupa di kuburan
mengepul di seluruh ruang
Juga mata merahnya itu, saban habis kalah berjudi

Aku tak juga paham, Ibu
Mana yang lebih pemalu, ragu atau waktu
Saat kau bersenandung lagu itu, selalu
Ketika berjongkok di depan tungku, subuh-subuh
Juga mencabuti ubanmu yang hadir satu-satu
Atau saat tikar pandan tua itu berpindah ke halaman belakang
Menjadi hak milik kepik dan tungau, jamur dan cendawan
dan anak-anak itu tak lagi menghitung bintang
dari robeknya yang terus menganga
juga berebut kerak-kerak mimpi di dasar periuk

Aku lebih tak tahu, Ibu
Mana yang lebih menyakitkanmu
Apakah saat anak-anak itu tak hafal lagi jalan pulang menuju rumah
Atau saat lelaki itu ambruk
dan seorang perempuan berambut legam ikut mendaki
ke bukit kapur tempatnya berkubur

Yang kutahu, Ibu
Sesekali kau masih menyisir rambut putihmu yang tipis
kau masih setia membakar kayu jadi abu
Dan kau juga masih terus mencabuti rumput di bukit kapur itu

Aku masih ingin bertanya, Ibu
Sebenarnya masih adakah yang tak dirampas waktu darimu
Seperti biasa, kau malah nyanyikan kembali lagu yang itu
Yang tak juga kutahu judulnya
Yogyakarta, Juni-Juli 2008

Kamis, 09 Oktober 2008

KISAH LELAKI TUA-MEI 2008

1. di depan meja penuh hidangan
lelaki tua itu
memakai gigi palsunya

2. mencoba mengingat kembali
bintang-bintang di langit, perahu, jala
ikan-ikan hiu, malam-malam panjang,
juga asin lautan yang masih terkecap di darahnya

3. lalu matador yang mendengus dan banteng-banteng kelelahan
bertarung di bawah matahari yang selalu terbit
juga sorak-sorai penonton pada petinju yang gemetar di atas ring

4. sayup terdengar dalam derai hujan
gelegak cinta dari masa muda
masih mungkinkah kembali hujan dan bergerak menghilir?

5. sekali ini, dia benar-benar ingin sendiri
menyatu dengan adonan malam yang sedang mendingin
untuk pamerkan hasilnya
yang beku tercetak besok pagi
mungkin

6. tapi, ia masih terganggu oleh noraknya kenangan
apakah ia menyesal
tak meninggalkannya dulu di padang perburuan yang kerontang
di antara singa-singa yang menguap
dan membiarkan alam mewarnainya sampai pudar

7. tiba-tiba ia teringat peperangan
ambulans dan prajurit berdarah, kota terbakar dan jembatan rusak
lalu ia teringat peluru

-Yogyakarta, Mei 2008

Rabu, 03 September 2008

parningotan

dilaksanakan oleh yang masih hidup
bagi mereka yang sudah berangkat
sebab hidup adalah perayaan
dan mati menjadi upacara penutup

Kamis, 24 Juli 2008

ketika kematian menyapa

seorang lelaki yang berangkat diam-diam dalam keheningan pagi

Akhirnya semua akan tiba pada hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui...
(kutipan dari salah satu puisi Soe Hok Gie)



Selamat Jalan, UDA, kiranya Pencipta menerimamu dalam naungan kasih-Nya, semoga dalam 2 minggu ketidakberdayaanmu kau sudah temukan cahaya itu-yang menuntunmu berdamai dengan dirimu sendiri-berdamai dengan dunia- dan membuatmu berserah untuk kembali kepada-Nya....

Yogyakarta-25 Juli 2008-03.48 WIB.

Selasa, 15 Juli 2008

Lagu Ragu Seorang Pelaut-16 Juli 2008

Beberapa orang kutemui menjangkar di simpang kota
untuk bertahan hidup orang harus makan, untuk bisa makan orang harus bekerja, untuk mendapatkan pekerjaan orang harus antre, begitu kata mereka berulang-ulang...
berulang-ulang, seperti mantra penuntas kemarau
berisik, melebihi camar laut berebut ikan kecil

saat itu masih siang, kota kian megap saja ditenggelamkan matahari
di tempat yang dulunya berdiri mercu suar, menancap gedung-gedung
angkuh melebihi tiang-tiang kapal di tengah samudra

bukan akibat dibantai gelombang, tapi selalu saja aku tak sabar
tuk segera merapat di dermaga,
tambatkan tali dan memeluk daratan
lalu berjalan menelisik simpang
melihat debur laut di wajah orang-orang

tapi entah mengapa, kalau sudah begini, aku selalu ingin muntah
untuk kesekian kalinya aku tak juga bisa menjawab, apa yang kucari di sini...
bukankah sebagai pelaut, pelabuhan hanya persinggahan?
atau memang sudah saatnya aku karam?

Sabtu, 12 Juli 2008

Kota, Senja, dan Kesunyian


Mungkin kota ini masih tetap ramah
sebab aku belum juga kehilangan arah
padahal jalan-jalan sudah berubah

barpun hanya senja yang itu-itu saja,
yang kembali harus kupungut ketika sore tiba
berkilau muram seperti emas sepuhan

Benarkah yang terpampang di depanku ini
kesunyian dari jenis yang lain
yang selama ini tak pernah bisa kita temukan di etalase
puluhan supermarket pongah yang mengklaim dirinya
menjual barang-barang terlengkap di kota

kemarin dulu sebuah film diputar di bentara
lalu kemarin cerita adaptasinya dipentaskan di taman budaya
dan kembali aku ingin bertanya
naskahmukah itu?
(padahal namamu sudah jelas-jelas dibentang merah di tiap spanduk)

Sebuah kota, sepotong senja, dan sepenggal kesunyian
yang diramu menjadi kisah yang tak terlampau pedih seperti sengatan tawon
juga belum cukup basi untuk manusia-manusia yang tak bisa hidup tanpa kehangatan

tapi aku juga kian ragu, adakah kita pernah bertemu?
Sebab sedikitpun tak kutemukan kehadiranku dalam kisahmu
Atau dirimukah itu, yang kucintai waktu itu?
Bahkan dalam fiksi, sebegitu cepat kau lupa
Sedang kloset saja masih sisakan aroma dari benda-benda yang melewatinya

Ingin kutitipkan tanyaku padamu, lewat burung-burung yang pulang ke sarang
Benarkah kota hadir untuk mengekalkan kenangan, dan simpang-simpangnya menjajakan ingatan yang bisa dibawa berkencan sampai pagi?
Atau prasasti yang abadikan masa lalu, yang guratkan kisah-kisah di lorong-lorongnya, dan tak berkarat dilekati embun kenyataan?
Tapi sungguh tak pantas memberati kepak mereka yang sudah kelelahan
Maka disinilah aku, meresapi kota yang belum lupa, senja yang perlahan pudar, dan kesepian yang tidak diobral
Sebab kata mereka kau sudah jadi kepunyaan malam
Sebab kunjunganku dibatasi sampai senja

Yogyakarta-JULI 2008-

Jumat, 20 Juni 2008

Pagi Seorang Gembala Itik-21062008

hari ini kutemukan sebungkal sepi dari jenis yang tak biasa
teronggok di simpang jalan
ingin kuceritakan padamu, aku tak tahu cara membungkusnya
(supaya lebih apik tentu saja)

lagipula, kisahmu selalu saja lebih dahsyat
seperti kemarin "Bebek-bebek selalu tersenyum!" katamu
entah apa artinya, aku tak paham

maka pagi ini kupandangi saja sepi itu
sambil menunggui gerombolan bebek yang sibuk menyeberang jalan
berceloteh ramai ucapkan selamat pagi
pada dunia,
pada matahari yang cerah,
pada partner bercintanya tadi malam

bentuk paruhnyakah yang membuatnya terlihat demikian?
Atau kenaifannya pulang dengan riang
setelah puas berenang sore-sore
Untuk kemudian kusajikan panas-panas
Malam-malam di atas mejamu?

Rabu, 28 Mei 2008

TAK PERNAH- 29 APRIL - 01 MEI 2008

Aku sedang membaca saat kau datang dan berkata “Aku tak bisa tidur kalau masih ada cahaya” dan sesudahnya mematikan lampu
Untuk kesekian kalinya ini terjadi dan aku sudah malas menyalakan lampu hanya untuk kaumatikan lagi
Maka kemudian kututup buku itu dan mencoba memfokuskan pandang dalam gelap saat kau mulai terlelap

Di luar sedang purnama, dan perlahan sinarnya menembus atap dan menari pelan di wajahmu
Tapi kau tetap tertidur dan wajah damaimu menjadi bayi dalam pelukan ibunya

Tapi, memang ada tanda-tanda yang membuatku sadar, kita sudah bertambah tua
Kau sudah terbiasa tidur lebih cepat dan mematikan lampu
Aku sudah terbiasa menulis cepat dan kehabisan ide di tengah jalan
Padahal dulu, kita terbiasa bicara sampai jauh malam, berdiskusi tentang rencana sekolah anak-anak, asuransi dan kredit rumah mana yang paling tepat buat kita, serta anjing jenis apa yang sebaiknya kita pelihara. Kita bahkan pernah mencaritahu berapa harga kapling tanah di satu pekuburan elit, walau hanya sekilas

Akhir-akhir ini, kita pun sudah jarang berbicara (padahal kita mengaku masih saling cinta)
Aneh bukan, padahal orang-orang masih terus membuat lagu, puisi, dan film tentang cinta
Bunga-bunga dan rerumputan masih tumbuh dan mekar setiap hari
Pelangi masih sering terlihat sehabis hujan dan matahari belum pernah alpa terbit

Tak bisa kupungkiri, memang akhir-akhir ini aku ingin sekali mendengarkan suaramu
Sebab aku belum memberitahumu satu rahasia, bahwa persahabatanku dengan bunyi sudah memudar dan mungkin akan hilang
Menurutku, telingaku sudah rusak, padahal dokter spesialis THT langgananku mengatakan dengan yakin “Secara medis tidak ada masalah”
Karena itu, mumpung belum rusak betulan, aku akan mendengarkan sebaik-baiknya dan merekam kesan dalam ingatanku, berulang-ulang sampai tidak mungkin hilang lagi
Seperti kebiasaanku mendengarkan ketukan hujan di atap dan setelahnya menyanyikannya di kamar mandi

Kisah kita memang bukan jenis dongeng di masa kecil, yang biasa dimulai dengan kata-kata “Pada suatu hari…”, atau “Konon kabarnya…”. Juga tidak berawal dalam perjalanan dengan gondola di sungai yang tenang sambil mendengarkan lagu cinta dalam nada tenor di bawah siraman purnama. Mungkin juga belum bisa dibandingkan dengan benih yang dipendam di tanah lembab yang tipis pada sore hari dan entah bagaimana sudah memperlihatkan tunas lembut kehijauan keesokan paginya. Aku jelas tak tahu berawal di mana, tapi kelanjutannya kita sudah sampai di sini, dan diam-diam masih kubayangkan bagaimana semua ini akan berakhir.

Tak pernah benar-benar kutakutkan kebisuanmu, seperti saat ini

05 APRIL 2008 –Apalagi yang Ditunggu

Apalagi yang ditunggu
Rumput kering membentang berbukit-bukit dari padang sisa kemarau
Tinggal sulutkan sebatang korek api
Lalu ambil sebuah jimbe-dan mainkan irama perang bertempo cepat
Maka lidah-lidah api akan menari-nari di luasan angkasa
Dan tenggelamlah nyanyian rumput kering yang selama ini menanti hujan
Benar kawan, kau salah arah…jangan kaucari pepohonan, apalagi hutan di sini
Sudah berpulh-puluh tahun mereka diusir pergi

Apalagi yang ditunggu
Dendam pun mampu beranak-pinak berlipat-lipat lebih cepat dari tikus
Hasilnya generasi demi generasi dibaringkan tanpa nisan di bukit-bukit ini
Menjadi pupuk untuk ladang ilalang
Yang berkerisik setiap kali bertemu angin

Apalagi yang ditunggu, kawan
Kaki-kaki kita sudah menjejak tanah ini
Lakukanlah yang kau mau
Jika tidak
Baiklah kita duduk saja dan bicara tentang cinta
Walaupun naïf, tapi bukan lagi dari jenis yang cengeng tentang patah hati

Mungkin kita bisa merancang untuk menjadi petani bunga sambil menanam pepohonan
Amarah di panas mentari, kegetiran dalam derai hujan, dendam yang terkubur di tanah, dan kesedihan yang mengawang di udara, mungkin bisa menjadi unsur-unsur paling baik untuk menumbuhkan keteduhan dari bukit tandus ini…
Untuk mengingatkan kita bahwa cintalah yang membuat semesta masih bertahan dan manusia belum punah
Dan sebenarnya cintalah, bukan dendam, yang memampukan kita sampai di sini, melalui ribuan malam beku


Maka sebaiknya kita mulai mencari tunas pohon dan bunga-bunga, lalu menanamnya
Biarlah hujan dan matahari, udara dan tanah, dan semua unsur di alam membesarkannya
Biarlah kehidupan berseri dari semarak hijau daun-daunnya
Dan marilah berharap Tuhan mengutus burung-burung kecil untuk singgah dan bersarang di carang-carangnya
Dan kembali ramai bernyanyi setiap pagi

03 April 2008 & 06 Mei 2008- MENGETUK

Hari itu ia kembali berdiri di depan pintu besar yang kukuh. Beberapa kali, dalam tahun-tahun yang sudah berlalu, ia datang dan mengetuk. Pertama-tama, ia benar-benar ingin supaya pintu itu terbuka dan ia diperbolehkan masuk. Selanjutnya, ia mulai berharap bahwa pintu itu terbuka dan sejenak orang di baliknya mau menyapanya. Kemudian, seiring bergulirnya waktu, ia mengaku bahwa ia hanya ingin memuaskan rasa penasarannya terhadap apa yang ada di balik pintu itu. Akhir-akhir ini, ia menemukan bahwa keinginannya untuk datang setiap kali dan mengetuk, adalah representasi terhadap keinginannya untuk tetap eksis. Ia menemukan bahwa rasanya janggal saja ketika ia tidak datang dan mengetuk. Ia baru merasa ia ada ketika ia datang lagi dan mengetuk lagi. Demikianlah hari-harinya berlalu dalam pencarian yang sudah menjadi rutinitas belaka.

Kemudian, ia kembali ke sarangnya, menyalakan lilin dan mematikannya lagi. Menyalakan lalu mematikan lagi, dalam sikap yang hikmat sebagaimana doa. Dan ia berpikir sejenak, mungkin sebaiknya tidak ada pintu saja. Jadi, dia tak perlu datang lagi. Atau, bagaimana jika dia tak punya tangan lagi? Atau, jangan-jangan memang tidak ada ruangan apapun di balik pintu itu.

Ah, mengapa harus pusing-pusing untuk urusan yang tak jelas? Toh, dia kan bukan penyair nyentrik yang setiap kali merasa perlu menuliskan hal-hal ganjil, sekedar untuk menarik pembaca. Toh, pintu tidak selalu menjadi jalan untuk masuk. Pintu seringkali dimaksudkan untuk menghalangi orang yang tak diinginkan masuk dan membuat onar. Bukankah memang demikian?

Malam bertambah larut. Jalanan kian lengang. Daun-daun luruh diam-diam. Angin mati. Sepi

Lalu hujan. Bau tanah basah menguar. Terdengar suara hujan menyentuh atap. Mengetuk ramai-ramai, lalu perlahan-lahan, ramai lagi, demikian seterusnya. Ia lalu berpikir, selain karena gravitasi dan massa air, juga bentuknya yang bulat-bulat-seperti titik, apalagi yang membuat ketukan hujan di atas atap bisa begitu bersemangat, seperti rentak kaki barisan prajurit? Apa juga yang membuatnya bisa terdengar sendu, seperti tangis yang disembunyikan diam-diam, tapi tetap terdengar?

Yang Ada-05- Mei 2008

Ada selaput tipis yang dengan lembut menjadi pemisah antara “Selamat Tinggal” dengan “Sampai Bertemu Kembali”

Ada warna tak kasat mata yang diam-diam menjadi pembeda antara jabatan tangan dengan kata yang tak selesai diucapkan

Ada tangis yang menguap di bawah matahari dan nyanyian yang ikut mengalun dalam deraian hujan

Ada lintasan untuk mengerahkan setiap tetes keringat, detakan jantung, dan helaan napas untuk pertarungan sekali dan selamanya

Ada kesempatan untuk mengerti, bahwa yang masih hendak dicari jadi sebab untuk terus berlari, dan semua yang ada hari ini adalah anugrah untuk disyukuri

Mungkin masih ada peluang, untuk mengguratkan kisah baru yang terpilih, pada kepingan bambu, atau andesit, atau, lempengan baja, pada masa yang baru. Dan seandainya pun tidak, biarlah yang sudah ada terbuka atau tertutup saja, dibaca atau dimakan rayap, dikenang atau dilupakan

Dan memang, ada saatnya tuliskan bagian penutup pada masa lalu dan menaruh titik tepat di ujung kertas

(ditulis setelah pembotakan selesai-Senin dinihari)

Senin, 21 April 2008

Setelah-21 April 2008

setelah kubaca sedikit puisi Sapardi Djoko Damono, yang isinya begini:

“AKU INGIN”
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat disampaikan kayu
kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada


timbul keinginanku untuk menirunya juga, maka beginilah versiku:

aku masih ingin mencintaimu dengan hati-hati saja
seperti menyeberang jalan sambil terlebih dahulu melihat kiri-kanan
sebab jalan raya dan pengemudi yang ugal-ugalan itu masih membuatku takut
dan memang sudah kubuang anganku untuk jadi pembalap, sebab mungkin kecepatan saja tidak bakal cukup untuk mengantarkanku kepadamu

aku masih ingin mencintaimu dengan ringan saja
seperti menyanyikan lagu-lagu yang mudah tanpa perlu pakai falsetto di nada-nada tinggi dan bernapas panjang-panjang, termasuk menghafal kata-katanya yang sulit itu
tetapi mungkin bukan salah garpu tala jika jiwa kita belum bisa berpadu dalam nada yang harmonis

sesekali aku berpikir
mungkin
hari pertama ketika aku menemukanmu adalah titik yang sama yang memicu kesadaranku bahwa aku akan kehilanganmu
tempat di mana aku memandangmu adalah awal dari perjalananku yang rutenya terlanjur menjauh
dan hari ketika aku melihatmu terakhir kalinya adalah hari yang sama saat kau tak menyadari aku ada di sana, di suatu tempat di sekitarmu, yang mungkin tak terlampau jauh untuk sekedar menyapamu, tapi juga tak terlalu dekat dan sesak untuk memulai pembicaraan, tetapi bahkan sekedar salam perpisahan pun tak ada

tapi memang benar, nostalgia semanis apapun hanyalah bagian dari masa lalu,
dan sepahit apapun kenangan, selayaknyalah senyuman dan tawa yang hadir saat mengingat itu semua

dan aku berjanji
akan menghargai mereka yang menyeberang jalan dengan hati-hati, termasuk pengemudi yang ngebut seenaknya, dan para pembalap di Formula Satu
aku juga akan menikmati lagu-lagu sederhana, dan menghargai para penciptanya yang berkarya dengan sepenuh hatinya, termasuk para sopran dan tenor yang bisa menyanyi melengking tinggi-tinggi

aku ingin mencintaimu dengan ringan dan hati-hati
supaya tidak ketabrak karena beban yang terlalu berat

PERJAMUAN TANPA REKAN-19 April 2008

Beberapa botol mimpi yang sudah kosong berserak di kakinya
dan dia heran, kok belum mabuk ya?

Rekan-rekannya sudah mengundurkan diri, sejak lama, sejak mendengarkan vonis dokter yang disampaikan tanpa ekspresi “Hidup ini singkat Mas, kok masih mau di-diskon sendiri?” (Waduh, itu dokter ikut multi-level ya??? Sudah bintang berapa tuh?)

Di meja, sekian wadah kaca berwarna itu tinggal menanti sentuhan pembuka botol, maka, isinya dengan segera akan mengalir ke perutnya, diproses lebih lanjut untuk selanjutnya dibuang di toilet, sementara liver dan ginjal-nya akan bekerja begitu keras untuk menetralkan racun yang menumpuk.

Tapi dia tertegun, sebab pendapat berbeda tentang para peminum yang diciptakan oleh Suhu Peminum (dengan catatan “Untuk Kalangan Sendiri”) tiba-tiba terngiang di telinganya, samar-samar, seperti:

“Peminum Hebat adalah mereka yang setelah menenggak sekian botol tidak sempoyongan dan kehilangan kewarasannya”

“Peminum Bermartabat adalah mereka yang minum bukan karena ingin melarikan diri dari masalah hidup yang menghimpit kian berat”

“Peminum Tepat adalah mereka yang bisa melaju dengan percepatan maksimum dan berhenti tanpa mengerem mendadak di lampu merah”

“Peminum Cermat adalah mereka yang bisa memperkirakan neraca laba-rugi akibat minum dan tetap berani berinvestasi dan mengambil risiko”

“Peminum Sehat adalah mereka yang masih sanggup mendonorkan darah di PMI dan lulus uji toksisitas sebagai Pengemudi”

lain-lainnya seperti peminum berat, peminum gawat, peminum lewat, peminum terlambat, peminum bantat, dan lain-lain tidak pernah dan tidak ingin diingatnya, sebab julukan-julukan itulah yang selama ini mencemarkan nama baik dan kehormatan korps peminum…

maka, diambilnya sebotol lagi, dibuka pelan dan dituangkan ke dalam dua gelas kosong yang berhadapan di atas meja

ia mengangkat gelasnya dan melihat satu tangan meraih gelas satunya
dan “toss” gelas berdenting saat beradu pelan

kemudian, setelah menuntaskan minuman di tangan kanannya, ia menandaskan isi gelas di tangan kirinya sampai tetes terakhir, lalu menyeka buih yang menempel di ujung kumisnya dan berkata:
“Cukup untuk saat ini, besok malam kita party lagi…”

Selasa, 08 April 2008

PENGAKUANKU-06 APRIL 2008

Benar…
Aku tidak punya energi yang sanggup memijarkan besi sampai putih
Aku tidak punya energi yang sanggup menghalangi debur gelombang memecah di pantai
Aku tidak punya energi yang sanggup menggerakkan revolusi
Aku bahkan tidak punya energi yang sanggup membuatmu berbisik “Sayang, Aku juga mencintaimu.”

Sesekali,
Aku punya lilin dan korek api yang sementara cukup mengusir kegelapan separuh malam
Aku punya kran, karet, dan plastik untuk menghentikan air meluber dari penampungan
Aku punya sapu dan kain pel untuk membersihkan lantai yang berdebu
Tetapi, aku masih belum punya cukup tenaga untuk membuatmu berhenti dan tersenyum sejenak padaku

Yang kutahu, aku memang bukan siapa-siapa, belum jadi apa-apa,
dan mungkin takkan jadi apa-apa
Aku hanya penjaga malam yang masih ingin belajar mengucap “YA” dan “TIDAK” dengan jelas, dengan sepenuh hati, tanpa basa-basi
Aku hanya punya kata-kata yang menolak disimpan dalam kepala
dan berontak meninggalkan jejak di atas kertas
Aku hanya punya pena yang terlanjur senang berlari
dan melintasi kegelisahan demi kegelisahan

Dan memang benar,
Setelah kuakui semua yang tidak kumiliki
Aku memang tidak punya apa-apa
Yang tersisa dariku hanyalah hati yang belum mau beku dan menjadi batu
Yang seringkali masih menggigil oleh ragu di hadapan waktu
Yang mencoba bersetia dengan rasa dalam kata
Yang masih ingin lafalkan “AKU CINTA PADAMU!” dengan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, mengikuti kaidah-kaidah baku Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan berpatokan pada pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Inilah aku
Inilah pengakuanku
Padamu

SURAT SEORANG TAHANAN KEPADA ISTRINYA- 25 OKTOBER 2007

Apa kabar, Sayang? Aku masih bingung apa yang akan kutulis. Aku juga tidak tahu siapa yang akan kukutuk atas kesialan ini. Seandainya kutujukan padamu, kau hanya akan tertawa terkikik-kikik lalu buyarlah semua itu, ilmu yang sudah kupelajari lama dan kurapal saat-saat penting saja.

Sedang apa, Sayang? Kautahu aku sudah jarang bercumbu dengan malam. Gigiku pun makin sering memberontak. Kopi yang kaukirim tiga bulan lalu sudah habis minggu kemarin. Ingin kupesan lagi, tapi aku tak punya uang lebih saat ini. Maka kutahankan saja minum kopi sambil berkali-kali meludahkan ampas jagung yang melayang di permukaan gelas itu.

Bagaimana ladang kita, Sayang? Saat panen tiba, rayulah lagi bapak-ibumu untuk menanggung segala urusan. Toh, mereka juga yang selalu mendesak kita dulu untuk kawin cepat-cepat. Maka mereka juga masih punya saham untuk cucu-cucunya itu. (aku tahu kata-kata itu dari seorang akuntan yang sedang sial, ketahuan mencurangi pembukuan dan lalu ditabung di sini.) Dariku cukup doalah dulu, lain-lain menyusul. Kalau wajah pemilik warung depan itu sudah menjadi bulan sabit lagi, mungkin lebih baik kau keluar lewat pintu belakang saja setiap keluar rumah.

Jangan tersinggung, Sayang. Mereka hanya sedang rajin menerapkan prinsip ekonomi. Nanti juga capek sendiri, seperti anak kecil yang setiap kali mengagumi sepedanya yang baru dibeli. Kaupun tahu, aku selalu bayar utangku, itu kan hanya soal waktu. Ya, aku mengaku. Memang ada sedikit uang kutabung. Tapi, kalau kukirimkan padamu, nanti aku tak punya lagi ongkos pulang. Belakangan jarang ada order. Kau pun tahu, aku bisa bekerja keras-apa saja-asal setiap hari bisa melihatmu. Gombal? Ah…aku selalu jujur padamu Sayang. Jangan cemas, aku tidak akan melirik wanita lain. Laki-laki=Buaya Darat? Omongan orang jangan terlalu dipikirkan, anggap saja mereka sirik dengan kemesraan kita. Ato suruh saja belajar biologi, biar tahu buaya adalah makluk yang sangat setia pada pasangannya. (nah, kalo yang ini, kutau dari seorang ahli reptile, yang karena cintanya pada buaya, menaruh puluhan anak-anak buaya di danau kota. Karuan saja semua orang geger, dan dia pun diternakkan sementara di sini.)

Eehhh..kok malah jadi ngelantur ya? Ya udah. Gini aja. Kirimkanlah cintamu bergelondong-gelondong, semampumu. Biar kurajut jadi selimut buat menghangatkan malam. Soalnya, sarung yang kubawa dulu sudah robek-robek. Iya, aku memang selalu mencucinya pelan-pelan, dan tidak pakai sikat lagi. Tapi mau bagaimana? Pelapukan kan tak bisa dilawan.

Okelah…terimakasih Sayang. Terlalu banyak yang ingin kutulis, tapi entah kenapa, aku selalu bisa berhenti, tepat sebelum kertas ini habis. Peluk ciumku untukmu, juga untuk anak-anak kita : Eka, Dwi, Tri.

Ttd. Suamimu: Zero

NB:
1. seandainya kita nanti dikaruniai anak yang keempat dan terlahir laki-laki, kurasa kau pun takkan keberatan menamainya Catur. Tapi kalau perempuan, CITRA bagus juga tuh. Aku lebih senang kalau perempuan, sebab dia pasti mewarisi kecantikanmu.
2. setiap ada kesempatan berfoto, akan kukirimkan padamu, sehingga anak-anak bisa mengikuti perkembangan kerut-keriput di tampang hitam bapaknya.
3. seandainya mereka punya lamunan yang bertingkat-tingkat dan berlantai marmer, ingatlah selalu untuk mencubit mereka supaya sadar, dan belailah lembut kepala mereka. Setelahnya, suruh belajar yang rajin, supaya masa depannya tidak jadi gubuk reyot seperti bapaknya ini.
4. eh…satu lagi. Apa si Rojali, sopir Angdes itu masih rajin mengklakson di muka rumah? Sampaikan salamku untuknya, bilang jatah hukumanku setahun lagi, tapi bakal dapat remisi minimal enam bulan.

MENUNGGU-16 SEPTEMBER 2007

“Menunggu siapa?” tanyanya
“Tak menunggu siapa-siapa.” jawabku kemudian
Setelah dua jam
Ia diam saja
Esoknya, esoknya lagi, dan sekian besok lagi
Dia tanyakan hal yang sama
Dan jawabanku sama juga
Kelanjutannya juga sama
Ia tetap diam saja
Aku pun duduk dan meneruskan khayalanku

Suatu waktu ia bertanya
“Kapan kau pergi?”
aku tak siap menjawab, lebih karena terkejut pada manuver pertanyaannya
“Emangnya kenapa?” tanyaku balik, sambil otakku berputar keras menyusun kalimat yang jelas, ringkas , dan tepat sasaran
“Bosan menunggumu!” jawabnya singkat.,

Aku segera bangkit dan kabur
“Ya ampun, orang gila dari mana lagi ini?” pikirku
saat terbirit-birit menyelusup di sebuah gang becek dan sempit.

MUNGKIN-KISAH

MUNGKIN-sekitar SEPTEMBER 2007

Mungkin ada yang melihat purnama tadi malam dan menganggapnya mirip kue serabi (walau gosongnya tak rata)
Mungkin ada yang berkata, itu lampu taman yang tetap cemerlang saat lampu mati
Mungkin ada yang merasa cahaya itu hangatkan sesuatu di hatinya
Mungkin (sebenarnya) ada orang yang hanya ingin katakan “Selamat Sore.” tapi lagi-lagi bertele-tele sebab penyakitnya memang begitu, maka dia ketikkan saja semua itu sambil keringatan, sebab kulitnya yang hitam belum juga berdamai dengan hawa panas
Dan mungkin penerima sms ini membaca sejenak
Mungkin dia berkata “Ah, ada-ada saja!” dan mungkin dia sudah paham langkah berikut tanpa melongok inbox
Mungkin dia heran, kok masih ada ya manusia kayak gini?
Maka kataku : Tanya Kenapa




KISAH SEORANG PENGANGGURAN-sekitar SEPTEMBER 2007


Tuhan…
Malam ini purnama
Kulihat bentuknya mirip kue serabi bundar
walau gosongnya tak rata (tapi dari segi artistic boleh juga tuh)

Sebenarnya aku sudah kenyang-tapi jadi ingin makan lagi
Maafkan aku Tuhan,
aku masih manusia
masih sulit berucap “Cukup” dan “Terimakasih” dengan sepenuh hati
yah…agak di bawah kategori Rakus minuslah

memang di negeri kami
orang lapar masih bisa dihitung dengan survey Bank Dunia atau BPS
tapi, percaya aja deh, jumlahnya banyak sekali
mungkin, di antara mereka, ada juga yang memandang bulan
dan menganggapnya kue serabi-sepertiku
dan setiap potongannya berkurang
mereka akan saling menebak
siapa ya? Yang beruntung makan itu kue tadi malam?

Mohon ampunilah Tuhan, hamba-Mu ini jadi ga enak hati
Sebab jarang sekali mau berbagi dengan yang lain

Bagaimana pula kalau ada yang memandang ke atas
Dan berdoa bulan berubah:
Supaya kekal menjelma jadi buah
Dan orang-orang yang berseru “KAMI LAPAR”
Duduk bersila dan menikmati setiap potongannya dengan hikmat

Mana yang akan Kau dengarkan Tuhan? Penggemar kue serabi atau penikmat buah-setengah vegetarian? Atau orang lapar lain, yang tak bersungut-sungut sambil mengelap kemiskinannya sampai kinclong setiap hari?

Di negeri kami, orang lapar banyak sekali, Tuhan
Puluhan juta-walaupun para ahli masih sibuk berdebat tentang validitasnya
Dan pemerintah cukup berdehem dan melakukan jumpa pers singkat

Walau memang benar, ulah sebagian orang yang tak pernah kenyang di antara kami juga yang menjadikan keadaan tetap kacau dan malah semakin runyam
Maka menjadi tugas kami jugalah memperbaiki keadaan yang payah ini
Dengan seizinmu tentunya
Sebab kamilah yang Kau utus untuk hidup di dunia ini
Saat ini
Di tempat ini

Ah, Tuhan
Berat nian tugas kami ini
Sebab kami sungguh menikmati setiap kesenangan
Apabila kami mendapatkannya
Dan terpaku pada semua yang nikmat itu

Lagi-lagi, ampunilah kami Tuhan
Kami pun sering heran
Betapa sabarnya Engkau pada milyaran orang sebelum dan saat ini
Yang selalu tidak puas, merengek, dan menuntut

Maka bantulah kami Tuhan, dan maklumilah jika upaya kami sungguh tidak memenuhi Standar Operasional Prosedur dan target yang ada

Tapi, terlebih dahulu, berilah kami pekerjaan pada hari ini…
***************************************
lelaki itu menatap coret-coretan yang baru selesai dibuatnya
dipandanginya lekat-lekat tulisan cakar ayam itu dari awal sampai akhir
kemudian dibacanya berkali-kali

ia mencoba menafsir
bahwa tulisannya itu didasarkan pada realitas konkrit masyarakat sekeliling
tapi kemudian ia kesal, jangan-jangan semua itu hanyalah perujudan dari alam bawah sadarnya, yang masih risau karena dia sampai sekarang belum bekerja

dia pun takut, jangan-jangan nanti ada yang membaca tulisannya itu dan menuduhnya bermain-main dengan nama Tuhan

segera diremasnya kertas yang sudah penuh itu
dilemparkannya dengan shoot yang melengkung indah ke tempat sampah
sambil berteriak “ Dasar Penganggur Kancut!!!”

(mohon maaf, Kancut=celana dalam)

PERTANYAAN ITU-10 AGUSTUS 2007

“Kapan?” tanyamu
“waktu tidak kulipat di dompetku. Mana kutahu?” ingin kujawab demikian
tapi, aku sedang malas ngomong
maka kuberikan saja sepotong senyumku (yang mahal itu)
Ajaib, kau malah tidak bertanya lagi (dan ini sungguh di luar kebiasaanmu)
Jadinya aku yang penasaran, ingin balik bertanya
“apakah kau sesungguhnya benar-benar ingin bertanya padaku?”
tidak jadi, sebab kau keburu berlalu
tinggal parfummu samar menguar

MALAIKAT DAN SEKALENG CAT TEMBOK-01 April 2008

Mungkin tak sempat dibayangkannya, ketika ia datang di suatu senja yang sedang lapuk-lapuknya dan berselubung gerimis yang sok dramatis, seorang pemuda kerempeng bermata merah akan membentak-bentaknya dengan penuh kuasa “ Kok terlambat, Bung? Harusnya tadi siang anda sudah di sini, ini genteng sudah bocor lagi.Untung aku terbiasa bekerja efektif dan efisien.”
Ia diam saja dan memandang berkeliling. Masih terserak pecahan genteng, cat lama yang sudah dikerok sampai mengelupas, dan di sudut, teronggok kain kotor yang sudah tumpah dari mulut ember. Ia datang dalam damai, dengan niat yang sungguh tulus bertemu manusia, tapi disambut dengan cara yang lumayan kasar. Bukannya dipersilakan duduk lalu disuguhkan es teh atau es jeruk, atau dItawari makan-malam dengan basa-basi. Atau ditanya dengan hangat, “Apa kabar?”
Ah, manusia sama saja dari dulu, tidak sabaran. Manja. Maunya menang sendiri. Sering cemburu. Egois. Gampang ngambek. Merajuk. Selalu ingin jadi pusat perhatian. Ingin dimengerti, tapi tak mau mengerti. Lalu berdebat tak habis-habis. Tak puas, memancing duel. Perang. Bermusuhan. Idih…ia sampai bergidik.
Sebenarnya ia ingin sekali menjelaskan alasan keterlambatannya. Ia tahu, berdasarkan hukum yang berlaku di negeri yang didatanginya itu, seorang pembunuh sekalipun, berhak dianggap tidak bersalah sampai pengadilan membuktikan sebaliknya, setelah melalui berbagai prosedur yang baku, di pengadilan, di depan hakim dan jaksa, panitera, dan tentunya dengan didampingi seorang pengacara. Dengan kalemnya negeri itu masih menganut Asas Praduga Tak Bersalah, yang seringkali membuat koruptor besar melangkah dengan tenang lalu terbang melalui bandara besar ke luar negeri, lalu menikmati hari tua dan ongkang-ongkang kaki di sana sampai mati dengan nyaman. Dan ia tahu persis, di negeri itu, hukum masih bisa dikentuti. Tapi, ia tidak ingin berdebat panjang-panjang. Maka ia tetap diam.
Ia kemudian memperkirakan, seandainya pemuda itu tahu, banyak masalah yang dihadapinya dalam perjalanan ke bumi, mungkin ia akan sedikit berempati. Tapi, ia pun tak ingin berbicara lebar-lebar. Dalam lamunannya kemudian, ia merunut kembali perjalanannya tadi.
Awalnya, ia terbang santai dengan kecepatan standar, tapi lalu terkaget-kaget dan menyingkir, ketika hampir saja badannya tertabrak sebuah rudal yang meluncur kencang. Turun lagi, ia hampir pingsan oleh awan berbentuk cendawan yang menjulang tinggi. Akibatnya kecepatannya berkurang drastis. Untung ia masih punya sistem pernapasan yang kuat dan sanggup menetralisir racun. Tapi, ia masih saja prihatin, manusia belum kapok-kapok juga berperang melulu. Agak ke bawah sedikit, sebuah pesawat ternyata memotong seenaknya, lari dari jalur penerbangan yang sudah ditetapkan. Lebih ke bawah lagi, matanya kian perih akibat asap kebakaran hutan. Tapi ia jadi tahu, ia sudah di atas Indonesia.
Parahnya lagi, orang yang hendak ditemuinya ternyata menyandang tiga KTP. Karuan saja ia harus bertanya kanan-kiri untuk memastikan dimana pemuda itu tinggal, kemudian setelah celingak-celinguk terbang lagi ke tempat lain, sampai ke posisi terakhir, yang kebetulan benar pula. Ia pun masih harus menikmati pandang penuh curiga dari Ketua RT dan kerling penasaran dari beberapa gadis yang kemudian tertawa cekikikan. Ia bisa mendengarkan pembicaraan orang tentangnya, tetapi ia diam saja. Mereka pikir ia tak mengerti bahasa daerah. Dia kan malaikat, dan malaikat tak butuh penerjemah. Mereka membicarakan bungkusan berbentuk tas di pundaknya yang tak dilepaskannya sejak tadi. Jangan-jangan bekpeker kere, kata seseorang dengan lidahnya yang medok. (maksudnya backpacker=petualang yang bepergian dengan kantong tipis, dan perlengkapan sekedarnya saja, hanya dalam satu tas punggung.). Paling dia hanya pura-pura tanya alamat, dan kemudian mengaku tersesat, kehabisan uang akibat ditipu di jalan, dan ujung-ujungnya minta menompang di rumah penduduk, tapi masih minta disediakan air panas untuk mandi dan makan malam gratis, kata seseorang sinis, membumbui. Jangan-jangan itu bom, kata yang seorang lagi. Hush…apa yang mau dibom disini? Kuburanmu? Kambingmu? Lalu mereka tertawa-tawa. Padahal bungkusan itu hanya penyamaran, untuk menyimpan sayapnya yang kelelahan. Apa boleh buat? Ia sudah terlambat, dan tak cukup waktu menata tampilannya.
“Hei, kok bengong? Itu jatahmu” sergah pemuda itu. Tanpa sadar, di tangannya ia sudah memegang sekaleng cat tembok dan sebuah kuas. Ia lalu memandang dinding yang ditunjukkan tangan kurus itu. Sejak pertama kali bertemu manusia, ia sadar harus banyak belajar, juga mengurusi tetek-bengek yang seabrek jumlahnya. Tapi, setiap kali ia merasa sudah cukup belajar, selalu saja dalam praktiknya ada yang kurang. Manusia selalu saja berimprovisasi, menghabiskan waktu dengan urusan-urusan yang tak jelas.
“Ah, seandainya bocah gendeng ini tahu, di atas sana warna tidak pernah pudar.” batinnya. Dan ia terpaksa membaca lagi, seberapa banyak air harus dicampurkan ke dalam cat itu. Apa boleh buat, ia sudah terlanjur berjanji membantu si pemuda kerempeng dan kere. Padahal ia masih punya tugas memberitahukan peringatan pertama, bahwa si pemuda akan mati muda, kalau saja cara hidupnya tak berubah juga. Nanti minta bantuan dokternya sajalah, bisiknya sambil mulai mengecat tembok kamar yang tadinya berjamur.
“Hei…bukan gitu caranya. Dari atas ke bawah, biar rapi.” Teriak si pemuda dari jauh, sambil menyeruput soda gembira-nya, di warung burjo.
“Dasar manusia, mau mati saja masih berlagak!” gerutunya pada akhirnya. Tentu saja si pemuda tak mendengar, sebab ia kini sibuk berteriak mengikuti pertandingan bola di televisi, LIVE!

Selasa, 01 April 2008

—PEMBICARAAN TERPUTUS YANG BIKIN BINGUNG -22 Oktober 2007-

Di keheningan pagi yang kini dirasakannya semakin mewah, ada sms masuk ke hp-nya. Dibacanya nama pengirim tertera di sana. Ia pun segera paham, pengirimnya adalah seorang temannya yang sudah lama tak dijumpainya. Maklum ia kini bekerja di ibukota, sedangkan temannya ini masih saja setia memunguti celotehan para dosen di kampusnya dulu.
Sebenarnya, seandainya pengirim sms itu memakai nomor lain dan sekalian juga tidak mencantumkan namanya, ia hampir bisa memastikan bahwa pengirimnya pasti temannya itu.

Siapa lagi?

Dia memang bukan paranormal yang sering diwawancarai di televisi dan setelahnya membuat orang yang menonton (dan kemudian percaya) jadi tak bisa tidur, tapi entah bagaimana dia yakin saja. Hanya temannya yang satu ini, sepanjang yang diingatnya yang bisa duduk berjam-jam sambil mengerutkan kening dan merengut karena persoalan yang bagi orang lain sepele saja, seperti mengapa ia terbiasa memakai sepatu dan sandal dari kiri terlebih dahulu, demikian juga dengan celana, mengupil, cebok, dan sederet aktivitas lainnya yang berhubungan dengan tubuh bagian kiri. Bahkan mengayuh sepeda saja ia selalu mulai dari pedal yang kiri. Temannya ini juga sering mengirim sms untuk memberitahukan hal-hal yang menurutnya sepele saja, seperti pembelian celana dalam baru, kamar yang baru dicat, uban yang muncul diam-diam dan setelahnya tak bisa diusir, bahkan mimpi tadi malam dan gigi yang kadang-kadang ngilu.

Ia kemudian membaca sms itu, singkat saja isinya “HIDUP BERARTI SUNYI!”

Kata-kata seperti itu sebenarnya sudah sering didengarnya dan dibacanya, terutama ketika topik yang dibicarakan adalah kebosanan dan rutinitas yang kian menjebak manusia. Ia pun sebenarnya mengakui, baginya perkataan itu ada benarnya. Ia hanya tak berminat saja mempermasalahkan hal seperti itu terlalu lama, karena waktu bergerak terus, dan ia punya setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan sesegera mungkin. Belum lagi tagihan listrik, telepon, air, kartu kredit, arisan, dan segala macam iuran kampung yang hampir jatuh tempo. Bisa jadi sudah jera juga ia, ketika dulu sering berlama-lama diskusi dengan orang-orang yang mengaku pakar untuk bidang itu, dan ia merasa masuk dalam labirin yang berputar-putar dan rasanya makin tak berujung.

Dia baru hendak bertanya, sekedar berbasa-basi “Maksudmu apa?” , tapi pulsanya bahkan tidak mencukupi untuk satu sms terakhir, dan sudah jelas, anggaran pulsanya untuk bulan ini sudah habis. Maka dia putuskan saja untuk tersenyum dan mengambil kesimpulan dengan cepat “ Orang yang berlagak jadi penyair memang biasa cari sensasi.”

CERITA YANG DIBUAT-BUAT-05 FEBRUARI & 20 MARET 2008

Laguku biru
Saat di bawah matahari aku berjalan mencari laut yang kesekian
Untuk serahkan bibit perdu pada halaman gelombangnya yang luas tanpa debu
Supaya disimpannya dengan baik, menunggu waktu yang tepat
Seharusnya kubawa pohon-
tapi hutan-hutan terlanjur berpamitan pergi ramai-ramai
Mengikuti para TKI berburu dolar ke luar negeri
Lagipula, siapa sih yang mau menemani memanggul pohon menembus keramaian di tengah-tengah kota, saat panas terik?
Kecuali nekat disangka gila, atau berani ditangkap atas tuduhan illegal logging, atau memang sengaja cari perhatian dan bermimpi jadi selebritis dadakan

O, laut
Yang berkerut dan berdebur selalu
Terimalah semua ini
Seperti dulu
Ketika kau terima lembaran-lembaran yang kutulis saat hujan malam-malam ditemani lilin-lilin yang berbaris tertib lalu bunuh diri sebatang demi sebatang
Surat-surat yang menguning dan berdebu, yang dulu kutulis dengan begitu sungguh-sungguh untuk tidak jadi kukirimkan
surat-surat cinta yang akhirnya kulipat jadi kapal-kapalan dan kulayarkan di tubuhmu

O, laut
Kau tahu, aku sedang belajar menganyam
Sebab aku terinspirasi cerita Musa saat bayi yang dihanyutkan ke Sungai Nil dalam peti pandan yang dipakal dengan gala-gala dan ter, untuk menghindari pembunuhan oleh Firaun yang kejam
Aku akan menganyam peti pandan dengan rangka rotan, tapi untuk memastikan kekuatan dan keawetannya, aku akan lapisi dalam dan luar dengan fiberglass dan kurekat dengan lem khusus tahan air
Dan kau jangan salah sangka dulu, aku tidak akan menghanyutkan bayi siapapun, bukan juga diriku, dan juga bukan untuk surat-surat cinta yang memang sudah tak pernah kutulis lagi
Di dalamnya akan kumasukkan tanah subur
Tugasmu menanam bibit perdu itu dan memastikannya tumbuh, dan melindunginya dari manusia-manusia yang serakah serta makluk-makluk tak berkepentingan
Kau atur sendirilah bagaimana caranya
Aku yakin, ada saja pasangan burung kecil yang bahagia, yang melintas di atasmu untuk mencari rumah yang takkan digusur manusia, tapi kepayahan akibat jauhnya perjalanan
Biarlah mereka singgah di sana, termasuk jika mereka memutuskan untuk tinggal dan menganggapnya home sweet home, beranak-cucu dan berketurunan

Tahun-tahun berikutnya, ketika aku bangun di pagi yang basahnya sedang-sedang, dan ada burung-burung bernyanyi di ranting pohon di luar jendela kamarku (semoga nanti aku punya rumah dan pohon tumbuh di sana), aku bisa sedikit menebak-nebak
Mungkin burung-burung ini lahir di laut, di atas perdu yang tumbuh dalam peti yang kubuat dulu

Sebelum tidur mereka terbiasa mendengarkan potongan puisi-puisi cintaku yang disimpan laut sahabatku dengan rapi dan diserahkan kepada ibu-bapaknya, lalu nyenyak oleh buaian lembut laut
Dan karena mereka memang cerdas dan punya jiwa seni, seluruh rangkaian kata itu sudah berubah menjadi lagu

Kalau tidak begitu, mengapa setiap pagi mereka bisa melantunkan lagu yang berbeda, di ranting pohon, di depan jendela kamarku?
Kalau tidak begitu alurnya, siapa yang bisa memberikan padaku, penjelasan yang lebih memuaskan?

MALAM-04 MARET 2008

MALAM-04 Maret 2008
Antara mereka yang berpelukan dengan malam dan aku yang terperosok di sini
Adalah jarak yang ditunjukkan lampu-lampu jalan yang temaram
Yang seakan menyapa tapi juga diam
Membuatku ingin bicara tentang keabadian
Padahal belum pernah aku dari sana
Bertemu orang yang pernah kesana juga belum

Kucoba petakan lekuk-lekuk malam, tapi baru sampai di ketiaknya yang basah berbau
Aku sudah terkejut dan melompat, karena itu aku sampai terperosok
Ternyata persoalan raba-meraba malam bukan urusan orang kurang umur
Sekian lecet jadi tanda peringatan bagiku

Baiklah…baik.
Kalau memang harus begitu
Aku akan menunggu umurku bertambah,
dan sampai saat itu tiba, aku akan bercinta secukupnya dengan senja, sekedar pemanasan
Mudah-mudahan sempat
Sebelum malam bertambah tua lalu membangkai dan menjadi bau

Akan kutanyakan juga, mengapa ia begitu mempesona
Dan dengan begitu saja membagi dirinya kepada orang-orang yang berlagak jadi kelelawar
Tapi, hebatnya, ditindih ramai-ramai oleh sekian banyak orang, ia tidak pernah kepayahan
Ah, aku terdiam dan sadar
Bukan malam yang akan membangkai dan menjadi bau
Tapi orang-orang seperti aku, yang merabanya dengan berdebar-debar, dengan nyali yang tanggung

Yang pasti, akan kujumpai malam, bagaimanapun caranya
Dan sudah kuputuskan, aku hanya akan ngobrol secukupnya saja,
sambil minum kopi dan merokok
Setidaknya, dengan begitu, aku bisa melupakan sejenak kematian yang bersembunyi di simpang jalan

KENANGAN-07 JANUARI 2008

Adalah kabut yang putihkan pandang dari puncak bukit
Dan dingin yang bikin menggigil saat matahari menghilang
Dan…Ya! Gravitasi yang membuatku tetap berdiri disini


Asap tipis dari rokok disulut seseorang di depanku
Perlahan mengepul mantap, menjadi kemenyan yang dibakar di sabut kelapa
lalu buyar, berubah menjadi pembakaran dari jerami basah setelah panen gagal

Menuruni bukit
Ribuan kunang-kunang berkelip di semak-semak menyambutku
Mereka dilupakan kota yang menyalibkan malam dengan pesona lampu-lampu
Dan terlewatkan pandang tak seksama

Malam ini, dalam perjalanan pulang, lagi-lagi aku masih berpikir
Dengan apakah kau akan kukenang
Setelah melupakanmu terlanjur jadi proyek yang tak tuntas
Sendu dan nyeri tak bisa terbungkus rapi dan terkadang masih bisa terlihat dalam bayangan yang ditelan gerimis

Ah, kenangan…, sebegitu norakkah warnamu?
Mungkin sebaiknya kutinggal saja kau di padang terbuka
Di antara semak dan alang-alang
Dan kubiarkan alam mengambil-alih tugas mewarnaimu sampai pudar

Rabu, 26 Maret 2008

KETIKA BULAN JATUH DI KUBANGAN -18-19 Maret 2008

bulan jatuh di kubangan
lumpur muncrat

Dan “Phuihhh..!!” seseorang meludah
“Pukimak!” desisnya “anak istriku kuimporkan lumpur khusus untuk perawatan kecantikan, dan sudah tigapuluh tahun aku bukan petani lagi, tapi aku masih kebagian jatah mencicipi tahi kebo sialan ini…” ia menyeka mulutnya, lalu memandang berkeliling lewat jendela apartemen sambil sesekali melirik wanita muda yang tadi berkeringat dan sekarang pulas di ranjang, penasaran mencari asal-muasal lumpur yang muncrat, lalu mampir tepat di mulutnya di apartemen di lantai duapuluh, sekian menit setelah ia bercinta…
(tapi rasa aneh yang terkecap di lidahnya mengingatkannya pada belut bakar dari sawah di masa kecilnya dan diam-diam masih diakuinya itulah makanan paling lezat di dunia)

di sebidang laut yang biasanya tandus seorang nelayan dan anaknya yang dengan sukarela putus sekolah sedang bergembira, sebab ikan banyak sekali
“Terimakasih Tuhan…” ucap mereka berulang-ulang, perahu sarat, jaring hampir robek, perlahan mereka mendayung ke pantai, sambil sesekali menatap bintang-bintang, sambil sesekali berdoa “Semoga es batu masih cukup dan harga ikan tidak jatuh” Sesekali si nelayan tua masih mengkhayal, seandainya tadi ia memakai perahu yang lebih besar, keuntungannya akan jauh berlipat ganda. Sesekali si anak masih menimbang-nimbang dalam hatinya, apakah akan ikut kursus atau kawin saja, seandainya hasil melaut mereka tetap baik beberapa waktu ke depan.

di belahan dunia lain, seorang pemuda bengong dalam gelap
alamak, dia lupa beli lilin
rindu yang terkumpul terlanjur mengerak di lubang hidung
tadinya ia terbiasa menghabiskan rindu dengan mengupil
sambil memandang bulan dan mengkhayalkan gadis pujaan yang tak kunjung tiba
terasa ada yang kurang, sebab baginya lebih asyik mengupil
dalam remang daripada gelap total
tapi mau apalagi, ini kondisi darurat dan semua harus berjalan apa adanya

di belahan dunia lain yang sempit dan sumpek, seorang gadis sedang bersukaria, air matanya bercucuran, tentu saja bukan karena sedih, tapi saking bahagianya
ia tahu bulan jatuh ke kubangan, dan belum bisa dipastikan kapan mengorbit lagi
ia tahu, tidak ada yang akan mengejek wajahnya lagi, yang kata mereka seperti rembulan
besok ia bisa melenggang cuek melewati sekumpulan pemuda yang biasanya menyiulinya dan setelah itu tertawa terbahak-bahak

di belahan dunia yang lain lagi yang sebenarnya tidak seberapa jauh, ada kampung yang sangat teratur, kalau siang terang-benderang semua orang bekerja, malam gelap gulita suami istri bergerak diam-diam lalu anak-anak lahir, dan pemuda-pemudi raba-meraba dalam gelap, yang tidak punya pasangan menginang sirih atau mengunyah tembakau, dan purnama adalah bonus bagi anak-anak untuk bersenang-senang. Ketika tahu bulan jatuh ke kubangan, anak-anak itu sungguh bersedih. Mereka juga tidak punya permainan yang bisa dilakukan ramai-ramai, di halaman, saat tak ada cahaya. Bahkan gigi-gigi pun tak kelihatan. Seharian mereka bergaul dengan Lumpur, masak malam-malam pegang lumpur lagi? Sampai leher-leher legam itu pegal, mereka masih memandang ke langit hitam, berharap pada keajaiban…

di belahan dunia yang lain yang lagi-lagi hanya aktif pada malam hari, seorang penyanyi termangu di panggung… ia sedang menyanyikan lagu ”Fly Me to the Moon” ketika bulan jatuh ke kubangan. Orang-orang yang tadinya meniupkan ciuman ketika ia bergoyang dengan lagu “Dancing on the Moonlight” meneriakinya untuk turun dari panggung, sambil melemparinya dengan kacang, kulit kacang, permen, dan yang sungguh tak biasa, beberapa kondom yang masih rapi dalam kemasan. Ia terlanjur terbiasa dengan mawar dan ciuman dari para penggemar, lalu tawaran makan malam dan paket-paket lanjutannya. Tapi, ini kenyataan yang sungguh memerihkan jangat.

Ternyata, begitu banyak peristiwa yang terjadi ketika bulan jatuh ke kubangan dan lumpur muncrat. Bulan depan, apakah bulan masih akan jatuh ke kubangan, atau mendarat nyaman di puncak gunung, atau menyelam ke dasar samudra, atau akan tetap bersinar angkuh di langit. Ya, di berbagai belahan dunia orang-orang akan menunggu tibanya saat itu…


BASA-BASI-11 JANUARI 2008

Kalau saat ini pembicaraan tentang cinta terlalu memuakkan bagimu
Baiklah, kita ganti topik saja
Mungkin perkembangan harga beras atau bencana di seluruh pelosok negeri atau kesehatan mantan penguasa negeri ini yang tak menentu
Walaupun kita sudah sama paham, hidup bukan hanya dari roti saja, kebanyakan bencana terjadi karena ulah manusia sendiri, dan begitu banyak orang yang meregang nyawa dalam kesusahan dan tanpa rebut-ribut, toh mereka hanya akan tercatat dalam statistik dan tidak meninggalkan gelimang harta. Walaupun benar, bertambah banyak orang yang akan pusing memikirkan harga kuburan yang semakin mahal dan tanah yang kian langka.

Ah, sebenarnya aku hanya mencari alasan untuk bicara saja…itupun tak ketemu. Kepalaku makin pusing saja, maka kuputuskan untuk tidur lebih cepat. Kurasa malam pun akan maklum, dan memberikan dispensasi untuk bolos bertemu dengannya, ini kali saja.

Senin, 17 Maret 2008

TUNGGU SAJALAH- SEBAB2

TUNGGU SAJALAH-17 Maret 2008


Dalam mimpiku
Aku menjadi sisifus yang membangun bukit
dengan menggulingkan batu satu demi satu
dan tepat ketika batu itu hendak sampai di puncak bukit
ada saja yang membangunkanku
maka batu itu turun meluncur deras
tanpa penghalang ke tumpukan batu di bawah

Di ambang sadar
aku menjadi kumbakarna berteriak mengguntur saat diganggu ngoroknya
perang atau tidak, ini jam tidur siang
apalagi hanya membayar tagihan listrik, air, dan telepon
mengapa kalian bangunkan aku
tapi mereka tertawa saja hahahihi
sambil enak-enak memantau pergerakan saham hari ini

tak ada gunanya mengeluh
supaya bisa tidur lagi
aku harus kerjakan semua kewajiban itu
sampai di loket
maka aku berubah lagi jadi angka-angka dan rupiah
sebab mereka tak sudi memandang mukaku sedikitpun
tanpa nomor antrian dan uang

jahanam
tunggulah sampai semua ini selesai
aku akan tidur lama sekali
dalam mimpiku akan kubangun benteng pertahanan melebihi babel
dan mengalahkan dewa-dewa yang hanya bisa menyuruh dan menghukum itu
tapi saat bangun aku tidak akan bertempur untuk siapapun
untuk alengka pun tidak, apalagi rahwana
juga bukan untuk terbebas dari segala rekening sialan itu

aku akan masuk teknik sipil dan lulus summa-cumlaude
lalu membuat jalan dan jembatan sampai ke benteng
di mana hanya aku sendiri yang bisa menyeberang bolak-balik
lalu ongkang-ongkang kaki sambil menggulingkan batu-batu ke dunia
kalau capek, aku sudah bisa tidur-tiduran sepuasnya
nanti kalau bangun lagi, aku akan memeriksa
sampai di mana mereka bisa memahat batu-batu itu
menjadi angka-angka dan rupiah yang mereka butuhkan
untuk menyewa ruang-ruang sempit di benteng-benteng kecil
jauh di bawah bentengku
yah..., setidaknya mereka bisa bermimpi menikmati tidur nyenyak sepertiku



10 MARET 2008
Sebab Tuhan
…………….segala

sebab cinta
…………..semesta

sebab kata
………….samudra

dan aku
pengembara yang merangkak di antara lipatan angan dan ceruk peristiwa
mereguk sedikit kata tapi sudah kekenyangan
menjelajah selorong cinta tapi sudah pegal kepayahan
bicara Tuhan…tergagap-gagap menelusur huruf demi huruf
dan kembali belajar membaca

Selasa, 11 Maret 2008

CERITA TETESAN AIR-KETIKA PESTA BERAKHIR

CERITA TETESAN AIR-04 Desember 2007

MALAM TERUS BERGERAK SAAT HUJAN HAMPIR SELESAI
AKHIRNYA TETESAN AIR YANG MENGUMPUL DI PUCUK DAUN
SAMPAIKAN CINTANYA
PADA BUMI YANG RENTANGKAN PELUK

TENTANG PERASAAN BUMI PADANYA, TAK PERNAH IA TAHU PASTI
SEBAB BUMI DIAM SAJA DAN SELALU DIAM
HANYA MENUNGGU DIAM-DIAM

DAN MASIH SAJA IA TERJUNKAN DIRI DENGAN SEPENUH HATI
LALU MEMERCIK PECAH MERESAP KE TANAH
SAYUP, MASIH KUDENGAR UCAPAN SELAMAT TINGGALNYA





KETIKA PESTA BERAKHIR-10 Desember 2007

Seperti layaknya acara lainnya
Pesta ini pun pasti berakhir
Setelah berbasa-basi sejenak dan menyalami kita lagi
Tamu terakhir segera meninggalkan tempat ini
Syukurlah
Rahangku sudah kaku sebab harus tersenyum seharian
Tinggal piring dan gelas kotor serta ruangan yang harus dibersihkan
Dan itu bukan tugas kita sebagai Raja dan Ratu sehari

Sekarang kita hanya perlu bergunjing
Tentang tamu-tamu yang masih saja membawa kado
Padahal di undangan sudah kita tuliskan
‘Tanpa mengurangi rasa hormat, mempelai akan berterimakasih apabila kado yang diberikan tidak dalam bentuk barang”
dan tampaknya mereka tidak mau susah-susah membaca undangan itu secara lengkap
atau tak sadar juga
ini kan masih krisis moneter dan kita tak butuh barang-barang tak jelas

Kita pun bisa bertanya keheranan
Tentang teman dekat yang sudah kita undang secara khusus jauh-jauh hari
Dan bisa-bisanya tak datang hari ini
Sungguh keterlaluan, masak teman dekat seperti itu
Entah apa alasannya
Nantilah, ada waktunya kita bisa bicarakan semua

Atau orang yang sepertinya aku kurang kenal
Entah kau tahu
Dan tadi bergaya sok akrab
Bicara ini itu dan melayap ke seluruh ruangan

Dan kalau kau tadi sempat perhatikan
Seorang lelaki yang tadi berdiri kaku di sudut ruang
Dan matanya itu
Tak henti-hentinya melihatmu
Tentu saja itu dilakukannya saat pandanganmu terarah ke bagian lain
Bahkan saat ketukan sol sepatu tamu terakhir meninggalkan ruangan
Masih kurasakan pandangnya yang seakan tak rela melepasmu

Aku tak tahu harus cemburu atau bangga
Benar, kita memang sudah sepakat bahwa masa lalu adalah masa lalu
Cukup dikenang saja dan kita akan membuka lembaran baru
Karena itu akhirnya kita sepakat menikah, bukan?

Tapi, kok jadi begini ya?
Ketika kita masih pacaran, dengan bangga dan hidung mekar aku terbiasa melenggang di depan semua saingan yang kutaklukkan
Biasalah, aku kan lelaki, dan memenangkan kompetisi adalah kebanggaan tersendiri
Sekarang, ketika melihat lelaki lain memandangimu, mengapa aku malah jadi cemburu?
Sayang, semoga kau takkan bosan mengingatkanku, bahwa aku suamimu dan kau istriku, bahwa kita sudah resmi jadi pasangan hidup, bahwa kesetiaan harus kita ukir di jidat kita hari demi hari, langkah demi langkah, pertengkaran demi pertengkaran, masalah-masalah, pokoknya banyak deh.
Ya, aku juga berjanji untuk tidak melirik-lirik perempuan lain. Ya, sedikit demi sedikit jugalah…


13 desember 2007
titik titik hujan padati jalan lalu berebut lari ke sungai
ada lelaki (yang lagi lagi patah hati di bulan desember) melihat itu semua
ingin menangis ia, tapi malu
maka dia coba ambil sisi positifnya saja
tangisan alam pun sudah cukup wakili sendu hatinya,
walaupun ia masih harus kedinginan dan basah

KUBAGI SENJA-MAAFKAN AKU-MARI BERCINTA

KUBAGI SENJA INI DENGANMU

Mengapa merengut, Sayang?
Senja baru saja matang, kau sudah mau tidur

Kutahu, senja bukanlah milikku
Tapi jika kau mau
Akan kubagi denganmu

Perlahan saja, kita tuntaskan kerat demi kerat
Tak perlu buru-buru

Kalau masih belum kenyang
Semoga esok masih tersedia
bisa kita nikmati lagi

selama yang empunya masih berbaik hati
memasak teratur hari demi hari
mengapa kita menolaknya

lagipula, gratisan belum tentu murahan, kan?





MAAFKAN AKU, SAYANG! SEPTEMBER 2007

Ingin kukatakan
Cintaku padamu
daun gugur di pelukan bumi

Tapi, kemarau keburu datang
api menyusul berkobar
bakar tuntas semua

kering
sekian lama

tiba-tiba, bayangan hujan melintas
sungguh indah kalau dia singgah
masih ada harapan, batinku

Teduh tercipta gerakkan asa
nyatanya hanya sekejap

Air melimpah begitu banyak
dalam satu hentakan, seret
seluruh rabuk tersisa
Bumi ini pun tinggal tandus
gersang, debu beterbangan
(yang kutahu, tanah subur hanyut ke laut
dan kita pun belum sanggup bercocok-tanam di sana)

Ah...
belum sanggup kuusir galau
bagaimana benih ini akan kita semai
tanpa air dan unsur hara
(padahal sebelumnya sudah kubayangkan
dahan menggeliat ranting melembut daun mekar
dan tunggul di tanah tumbuhkan tunas)

Kalau begini, sulit 'tuk berharap
bagaimanapun, hidup tak mungkin tumbuh di atas mimpi
harus ada jaminan
sebagaimana, tanpa tumpuan
kaki tak mungkin melangkah

(walau terngiang pula di telingaku
Pemberani mati hanya sekali
pengecut mati berkali-kali, sebelum benar-benar mati)

"Maafkan Aku, Sayang!"

Kalau aku tak juga datang
tidak perlu kau menunggu

Cintamu, daun gugur yang terampas dari pelukan bumi





MARI BERCINTA- (08 September 2007)

mari bercinta dengan riuh
malam anjing hilang kata hilang.suara
mari bercinta di ketiak daun.bunga
kelopak mata sampai pinggir.resah
sampai patah ranting nafas dahan. tenaga
segala.hilang

mari bercinta
akan lupa benih tawa
tak tersemai hingga tergadai

mari bercinta
sampai tercetak segala bercak

mari bercinta sampai muak
sampai lupa buat apa kita bercinta
setelah itu

dengan tenang bolehlah kita bisikkan
mari bercinta

DUG DUG-CERITANYA-TUNGGU-MENGAPA -GERAK

DUG DUG DUG DUG-02 September 2007-

Tidak pernah keluar kantor
bekerja seumur hidup
Mengetuk-ngetuk
dug dug dug dug

ingat, tidur, lupa, bangun
Bunyinya tetap
dug dug dug dug

Betapapun, iramanya tak selalu sama
kalau tenang
dug dug dug dug
terkejut, marah, kerja berat, atau gadis lewat
DUGDUG DUGDUG DUGDUG

Sampai pada suatu waktu
pintu akhirnya dibuka
(berarti boleh pulang)
saking senangnya
(setelah sekian lama mengetuk)

ia melompat lalu terbang
untuk itu ambil ancang-ancang
ketukan terakhir

dug dug! SEMUA

DUG! DITINGGALKAN!
--------------------------------




CERITANYA-AGUSTUS 2007

Bosan jadi batu
Batu ketemu cendawan
Cendawan lapukkan batu
Air jemput repihnya
diseret ke sungai
Tanpa ampun meluncur
……………………….ke laut
Megap-megap pamit
Pada batu tepian sungai
………....yang belum bosan jadi batu




Tunggu-AGUSTUS 2007

Sebentar ya
Aku sedang mencintaimu
Benar, pegang janjiku
Tak lama, kok!





Mengapa-AGUSTUS 2007

Padahal sudah kusediakan ruang untukmu
Kusiapkan jauh-jauh hari
…………..kau terlambat
Tanpa konfirmasi, apalagi minta maaf
Terlalu mudah bagimu
Menghapus deretan peristiwa dari cerita yang kubuat
Dan setelahnya menghempaskan diri
Antara spasi kau geser seenaknya




Gerak-AGUSTUS 2007

Hari memanjangkan bayang
Rangkum sekian jejak terpahat di tubuhnya
Besok kaki baru melangkah
Bayang mengerut
Tapak-tapak perjalanan mengubah cetakan lagi

KEGELISAHAN

3 Juni 2007…

Mimpi menjadi besar, ataukah hanya pelarian dari ketidakbecusan?
Hidup adalah sederet kenyataan yang harus dijalani, bukankah itu intinya?
Betapa banyak manusia di bumi ini yang pada akhirnya harus berkompromi dengan kenyataan yang sedemikian keras (atau justru nyaman), dan mengikuti arus?

Di manakah batas ketahanan?
Keberanian untuk memperjuangkan impian?
Merasakan penderitaan, untuk sesuatu yang mungkin sekali tidak akan tercapai?
Tapi, bukankah hidup juga harus berani gagal?
Bukankah itu nilai perjuangan?

Sekali lagi, petakan kembali alur perjalanan yang ingin kau tempuh.
Apa yang sebenarnya ingin kau capai dalam kehidupan ini?
Sadarkah kau bahwa dalam waktu singkat, mana tanggung-jawab yang sudah harus kau ambil?
Di antaranya untuk membiayai diri sendiri, dan semua yang lainnya itu?
Sanggupkah betarung dengan gengsi dan seluruh omongan dan tatapan prihatin orang-orang di sekitarmu?
Itulah pertanyaannya…




21 Juni 2007

Menulis adalah perjuangan melawan lupa… kalau boleh mengutip Milan Kundera.
Membaca adalah membedah tubuh sendiri dan seluruh jejaringnya untuk sadar tentang kesementaraan
Berdiskusi adalah meneguk anggur kehidupan yang memabukkan untuk kemudian muntah dan sadar dengan pusing yang berputar di kepala
Dan berpikir, bukankah itu seperti melihat muka di cermin dan membandingkannya dengan foto beberapa tahun lalu, mencari apa yang hilang dan jejak apa yang masih tersisa di sana?





12 Juli 2007


Sebuah perjalanan
Setumpuk harapan
Kecemasan
Ketidakpastian

Dan di ujung lorong
Secercah cahaya menanti dan bersinar terang
Hanya yang mau melangkah dan tetap berada di jalur
yang akan mendapatkan segenggam kepastian…

Dan mendapatkan kehidupannya…

Selasa, 04 Maret 2008

30 JANUARI-SEPI-MALAM-LELAKI-BISAKAH


30 Januari 2008


Di hening malam
Jiwa-jiwa berkelana
Sejenak ingin istirahat
Namun kelebat bayang demi bayang
Masih tinggalkan jejak dan sisakan tanya
Menanti ditelusur, menunggu dijawab
Bahkan detik-detik jam seakan meragu tuk terus jadi patok perhentian
Malah tambahkan tanya “Apa yang kaucari?"





SEPI DALAM PUISI-01 Februari 2008


Sepi menetes dari sudut matanya
Beberapa butir tertelan tanpa dia ingin
Lalu perlahan dia keluarkan saputangan lusuh
Tanpa bicara menyusut hidungnya yang berair

Semua itu luput dari pandang orang sekeliling
Sebab tak cukup waktu untuk orang lain
Dan sepi =urusan pribadi

Seseorang melirik sejenak, lalu sapukan pandang ke sudut lain
Menarik napas sambil menimang galau dalam diri
Tak cukup tangguH ajukan diri sekedar bertanya “Kenapa?”
Padahal ingin abadikan deraian sepi dalam larik puisi
Padahal hanya ingin bunuh sepinya sendiri





MALAM BANGKU DAN KERETA-14 Februari 2008

malam merangkak tua
kereta lewati stasiun
tinggal dingin bangku sendiri
sebab orang datang dan pergi
hanya duduk sebentar
sekedar menanti

kereta bergerak di antara ladang dan sawah sunyi
.........................rumah-rumah diam dalam temaram lampu
tak ada yang menyambut


tapi,
biarlah tubuh yang lelah temui tidur
dan damailah jiwa yang setia dalam hangat

Dan kau, bangku…memang nasibmu begitu
Terima saja





15 Februari 2008


LELAKI
lelaki
……..mencicil kematian
………………………..di antara kepulan rokok


Mencoba
…………sesap keabadian
…………………………..dalam seduhan kopi

Berkeras
………..pahamkan hidup
……………………........pada lembaran malam

Tapi
…….adakah temukan utuh diri
………………………………..tanpa bertemu

Perempuan




BISAKAH-20 Februari 2008

Rasaku pun tak mungkin
Mendongeng tentang hidup (dan kematian) dalam satu helaan nafas
hari ini ada yang lahir (dan ada juga yang kembali)
besok juga begitu (sama seperti jutaan hari yang telah lalu)
ada yang ditangisi, lalu dilupakan saat tanah ditimbun dan kelopak bunga terakhir membusuk
(walau memang benar, tak semuanya begitu)
tentang kenangan, mungkin cukup direkam dalam foto dan video, jadi bahan cerita sekilas saat malam mengabut, atau kalau tak ada tempat, cukuplah dalam ingatan saja
sebab hari-hari adalah serat kapas yang berguguran ditiup angin
pakaian hitam dan masa-masa berkabung ikut meresap ke tanah
digantikan sekian persoalan yang tumbuh saat matahari bergerak

Tapi, tak apalah, kalau sesekali ingin bernyanyi tentang mereka yang sudah pergi
Sebab hidup mencintai anak-anak yang lahir di pangkuannya
Mungkin ikut menangis diam-diam saat melepas kepergiannya

Hidup pun sadar, ia bergerak di jalan yang punya kisahnya sendiri
Ia tahu:
Kemarin, jalan merindu hujan yang pernah menciumnya buru-buru
Besok, mungkin ia menanti gadis kecil bermata bening gigi ompong
melompat-lompat riang menuju sekolah
Hari ini, tanpa wasiat, seseorang wariskan genangan darah mengental hitam

Dan, jalan merekam diam-diam semua yang bergerak di tubuhnya
dan tak berniat mengumbarnya untuk siapapun
Semua itu dikenangnya sendiri dalam kebisuan,
dikunyah-kunyah tanpa merasa perlu berbagi

Siapa yang bersedia memberitahunya, tak seperti klakson yang ramai berbunyi nyaring di lampu merah dan besok berbunyi lagi, yang sudah pergi takkan pernah kembali?

Hidup terus bergerak menempuh jalan-jalannya sendiri, dan jalan terus merekam hidup demi hidup yang bergerak di atasnya

Rabu, 13 Februari 2008

BUKU MERAH-28 Februari 2002

Terkejut
walau seharusnya sudah belajar
Menerima realita
di luar perkiraan

Pak…
Kau bilang dulu, Ulangan Harian tahun depan
dan kami hanya tertawa, senang tentunya
Dan akhirnya
"Tuk selamanya UH itu tak terjadi"

duduk di kursi, menghadap meja belajar ini
terlihat buku itu, di antara himpitan buku-buku lainnya
yang sudah lama tak terjamah

kuambil, dan terbukalah halaman 43
"You are the Love of My Life"

ada yang akrab tapi tak sepenuhnya kupahami
lalu kubisikkan
"Selamat Jalan!"
itu saja

Minggu, 10 Februari 2008

RENUNGAN-SATU SENJA-HILANG KATA-DLL

-Renungan-25 Oktober 2006

Ketika melewati hari, kita paham tak sanggup merekam semua
Lalu hari berganti, dan kita belajar untuk mengosongkon tempayan pikiran, untuk menampung yang baru…
Entah kita paham, atau kita ingin, realitas tampaknya selalu punya logika sendiri
Di sini, kita berjanji pada diri sendiri untuk ingat pada semua yang penting, tapi saat acap kita lupa, hanya senyuman atau sebuah permakluman yang hadir, anda tahu saya sangat sibuk hari ini, atau masalah datang bertubi-tubi hari ini, saya bahkan tak ingat bagaimana rasa makanan tadi pagi, lalu semua jadi rutinitas yang berulang, mungkin itu yang terjadi,
Ah, betapa sering kita maklumi diri sendiri, tapi tegas berkata, tidak boleh… saat yang lain melakukan hal yang sama…jadi seperti pepatah lama yang perlu dibaca ulang… buruk rupa cermin dibelah…padahal kalau muka buram… bukankah lebih elok bersihkan cerminnya…




-Satu Senja-27 Desember 2006

Aku selalu teringat satu senja…
Saat dulu aku berlari dipandu matahari temaram beranjak ke balik bukit…
tepat di atas danau…

Hanya saja aku tak punya sesuatu untuk merekamnya
Aku pun teringat, kata keabadian mungkin tak tepat,
kita hanya merekam kesementaraan…
sesuatu yang mungkin hadir lagi besok,
tapi sebenarnya tidak akan pernah sama…

Dan sore ini, saat kumulai langkahku untuk bersua dengan orang-orang terdekat, inspirasi yang bisa membuat bertahan sampai hari ini, kembali aku berjumpa dengan senja yang temaram…matahari yang sama…kembali akan beranjak…dan kuperhatikan terus… di antara gerakan sepur tua ini, masih tercium bau pesing…tapi aku tak peduli…kulayangkan pandang pada cahaya yang makin meredup di antara pucuk-pucuk pepohonan yang makin menjauh, atap-atap kusam mengelam, dan awan hitam.

Sepintas sekawanan burung bergerak pulang, terbang dengan santai.
Yah, mungkin mereka lelah, tapi setidaknya mereka tahu mau kemana malam ini.




-HILANG KATA-2 Februari 2007 (08.29) ………

Aku kehilangan kata-kata
Sudah kutulis iklan besar-besar di koran, running text di televisi…
Aku kehilangan kata-kata
………Kalau ada yang menemukan dan bisa mengembalikannya,
aku akan berterimakasih dan memberi imbalan sepantasnya
Hubungilah nomor ini…

Terimakasih…
………Dan segera ribuan pesan masuk, surat berkarung-karung, emailku kebanjiran, beberapa potongan sumpah serapah sumpah serapah, tapi lebih banyak doa dan potongan kitab suci, bayangkan, jumlahnya jutaan.
………Aneh, tapi dengan semangat mereka bilang dan tuliskan “Kami menemukan banyak sekali kata-kata seperti ini, inikah yang anda cari? Orang-orang membuangnya di sembarang tempat, ada yang ketinggalan pula dan tercecer dimana-mana… Mungkin salah satunya adalah milik anda… Tolong, jika anda menemukan apa yang anda cari, hubungi saya…di nomor ini. Saya menunggu imbalan yang anda janjikan. Kami juga butuh biaya untuk mengirimkan setumpuk kata-kata ini pada anda, perlu waktu lama untuk mengantri di kantor pos dan internet seing overloaded, jaringan juga terganggu, jadi… ya maklumlah.
……….Terimakasih atas kerjasamanya.
……….Aku kehilangan kata-kata sekaligus selera untuk mencarinya.




28 April 2007.

Kehidupan seperti jejak di pasir pantai dunia, hadir sejenak sebelum tergerus pasang waktu, tetapi kesementaraan itulah kesempatan memberi arti melalui pilihan-pilihan hidup dengan tetap bersyukur pada Sang Maha Pencipta.




12 Mei 2007

Suatu pertanyaan bodoh, tapi menggelitik. Jika besok saya mati, apakah yang akan dikenang orang dari kehidupan saya, menjadi pelajaran yang setidaknya bisa digunakan sebagai isyarat? Apakah yang tersirat dari ucapan Chairil Anwar, bahwa “Hidup hanya menunda kekalahan?” Apakah itu cetusan keputusasaan, atau sebaliknya, dengan menyadari kenyataan yang jelas terpampang di depan mata, menggelorakan hasrat untuk mengukirkan capaian tertentu? Yang mungkin bagi dunia tidak berharga, tapi pada diri akan menjadi semacam prasasti?




20 Mei 2007

Sampai kemanakah seseorang harus pergi untuk mengetahui dimana seharusnya dia berada?
Secara sederhana, untuk mengukur limit, bukankah seseorang harus melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah dicap tidak bisa dilakukan?
Bukankah dengan demikian kebanyakan penemuan dan pencapaian besar manusia bisa hadir dan turut menentukan jalannya sejarah?
Apa yang menjadi batasan pengalaman?
Bukankah setiap pilihan juga memiliki kemungkinan untuk salah, di mana setelah melaksanakan, tidak ada waktu lagi untuk mengulang, karena waktu tidak bisa diputar kembali?
Apakah yang menjadi dasar pertimbangan dari pilihan-pilihan berdasarkan akal sehat?
Sungguh bukan jalinan pertanyaan yang mudah untuk dijawab.

Tetapi ide dan gagasan besar takkan mati dengan hilangnya seseorang, dan adalah kemuliaan besar untuk gagal setelah memperjuangkan sesuatu dengan sepenuh hati, dengan segenap kemampuan yang ada…

Senin, 04 Februari 2008

MASIH SAJA- 04 November 2007

Di luar masih saja gerimis itu
Seperti sayup ketukan di pintu jati
Yang tak segera dibuka
(entah siapa di dalam)

Aku masih saja mendengar suaramu
Seperti sekian tahun lalu
Saat kita pertama bertemu
(sungguhpun katamu selalu
“Aku tak pandai merangkai kata-kata”.)

Hujan yang tanggung dan desir suaramu
Masih saja jadi pembuka pagiku
Lepas subuh tadi
(dan aku masih saja begini)

Sabtu, 02 Februari 2008

TENTANG HIDUP-AKU DAN PURNAMA

Tentang Hidup dan Cinta - 23 Januari 2005

Hidup bukanlah garis lurus yang membentang dalam lukisan sempurna
Karena itu tidaklah pantas merantai segala kemungkinan jalan
Bagaimana jika menjadi awan, menunggang angin, berubah bentuk sesuka hati dan hendak pergi kemana menjelajah luasan langit

Tidak perlu takut bermimpi
Walaupun tak bisa diraih
Seperti bintang bersinar terang di malam cerah
Tinggi
Jauh tak terjangkau
Namun dari samudra jiwa
Keindahannya akan tetap hadir

Sama seperti kunang-kunang
Kerlipnya hiasi malam indah di tempat bebas
Bukan dalam genggaman tangan atau botol
Dia harus bebas
Dan demikianlah cinta hadir
Bebaskan
Dan biarkan memilih jalan sendiri




AKU DAN PURNAMA- 29 Januari 2005
Malam sudah lama gantikan petang
Dan waktu membeku, diam aku
Di bawah bulan bersinar terang
Kulihat hanya sebesar uang logam seratusan

Bulan, buat apa aku memaki
Toh…bulan bukan perawan (tapi ia cinta bumi)
Hadir teratur jalani rutinitasnya
Ini bukan Bulan diatas Kuburan-nya Sitor
Ini bulan, satelit bumi, kata orang astronomi
Tapi terserahlah, yang penting bulan tetap bulan
Ia mencinta dan tetap setia

Ini tetap bulan yang sama, hanya terlihat dari tempat berbeda, entah di kota kecil, 15 tahun awal keberadaanku. Hanya kota kecil, mungkin tidak penting bagi orang-orang, hanya disebut sekejap untuk dilupakan…tapi bagiku adalah bagian jiwaku yang mencari dan berkelana.
Atau bulan di tepi danau, kota kecil juga, yang teramat sering kupandangi lekat-lekat…ya, bersama malam dan bintang-bintang berserakan di atas sana. Pada langit yang belum begitu tercemar. Aku dan kau pun mestinya tahu, bulan dan bintang hanya muncul malam hari, sebab siang ia digantikan matahari yang perkasa. Dan malam adalah pasangan hidupnya yang tidak tahu berselingkuh.
Atau di kota tua ini, antara gunung berapi tua dan pantai. Entah di manapun itu, terserahlah. Yang penting aku masih bisa memandang bulan, berbicara pada kesunyian dan mengembara ke dalam diri, kosong yang gelap bernyanyi.

Selasa, 22 Januari 2008

HEI,GADIS-16 Desember 2007

seorang gadis di bawah gerimis malam hari
tudungkan payung pada wajahnya ketika melintas bergegas
tapi tak cukup tutupi senyum manis dan teduh pandangnya

hei, gadis
tak tahukah kau
ini jejaka menjerit dicambuk sepi
dan bukan hanya pengamen yang menggigil di simpang jalan

hei, gadis
ke mana tujumu
dengarlah bisikku
setelah kutahu kita takkan abadi
bolehkah kutunggu kau di tanah asing ini

Senin, 07 Januari 2008

TAK ADA JEJAK DI JEMBATAN-15 Desember 2007

Arus kuning kecoklatan menderam jauh di bawah
hanyutkan semua yang bisa diseretnya
Matahari penuh di titik zenith
Sepertinya hujan deras
Di hulu yang punya cerita

Air berteriak menggema saat hantamkan tubuh ke tebing-tebing sungai
Purna tutupi bisu dua anak manusia
seperti terpacak kaki-kakinya
belum ada yang mulai bergerak
sejak tadi, apa yang ditunggu

mereka mengira, bersua di sana
seperti tetes-tetes air patuh belaka pada gravitasi dan lekuk tubuh bumi
atau bisa jadi
hanya kebetulan
walau sepertinya sulit diterima akal terjadi begitu saja

mereka kian paham
setiap helaan napas atau langkah kaki
mungkin awal dari keputusan yang akan mereka syukuri atau sesali
suatu hari nanti

mereka jauh lebih mengerti sekarang
hidup hanya sekali
tapi masih bisa memberi beribu arti

tetapi masih saja mereka berdiri
seakan sudah terjelma jadi pelengkap bebatuan raksasa
kokoh berdiam di sekeliling

lagi-lagi diam
setelah sekian lama
sungguh membosankan
apalagi yang bisa diceritakan?

Kepakan lelah burung-burung yang hendak pulang ke sarang
saat pepohonan di bukit menghitam
sayup masih ingin berbisik tentang jejak pertemuan
yang rupanya tak juga tercetak di tengah jembatan siang harinya