Senin, 21 April 2008

Setelah-21 April 2008

setelah kubaca sedikit puisi Sapardi Djoko Damono, yang isinya begini:

“AKU INGIN”
aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat disampaikan kayu
kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada


timbul keinginanku untuk menirunya juga, maka beginilah versiku:

aku masih ingin mencintaimu dengan hati-hati saja
seperti menyeberang jalan sambil terlebih dahulu melihat kiri-kanan
sebab jalan raya dan pengemudi yang ugal-ugalan itu masih membuatku takut
dan memang sudah kubuang anganku untuk jadi pembalap, sebab mungkin kecepatan saja tidak bakal cukup untuk mengantarkanku kepadamu

aku masih ingin mencintaimu dengan ringan saja
seperti menyanyikan lagu-lagu yang mudah tanpa perlu pakai falsetto di nada-nada tinggi dan bernapas panjang-panjang, termasuk menghafal kata-katanya yang sulit itu
tetapi mungkin bukan salah garpu tala jika jiwa kita belum bisa berpadu dalam nada yang harmonis

sesekali aku berpikir
mungkin
hari pertama ketika aku menemukanmu adalah titik yang sama yang memicu kesadaranku bahwa aku akan kehilanganmu
tempat di mana aku memandangmu adalah awal dari perjalananku yang rutenya terlanjur menjauh
dan hari ketika aku melihatmu terakhir kalinya adalah hari yang sama saat kau tak menyadari aku ada di sana, di suatu tempat di sekitarmu, yang mungkin tak terlampau jauh untuk sekedar menyapamu, tapi juga tak terlalu dekat dan sesak untuk memulai pembicaraan, tetapi bahkan sekedar salam perpisahan pun tak ada

tapi memang benar, nostalgia semanis apapun hanyalah bagian dari masa lalu,
dan sepahit apapun kenangan, selayaknyalah senyuman dan tawa yang hadir saat mengingat itu semua

dan aku berjanji
akan menghargai mereka yang menyeberang jalan dengan hati-hati, termasuk pengemudi yang ngebut seenaknya, dan para pembalap di Formula Satu
aku juga akan menikmati lagu-lagu sederhana, dan menghargai para penciptanya yang berkarya dengan sepenuh hatinya, termasuk para sopran dan tenor yang bisa menyanyi melengking tinggi-tinggi

aku ingin mencintaimu dengan ringan dan hati-hati
supaya tidak ketabrak karena beban yang terlalu berat

PERJAMUAN TANPA REKAN-19 April 2008

Beberapa botol mimpi yang sudah kosong berserak di kakinya
dan dia heran, kok belum mabuk ya?

Rekan-rekannya sudah mengundurkan diri, sejak lama, sejak mendengarkan vonis dokter yang disampaikan tanpa ekspresi “Hidup ini singkat Mas, kok masih mau di-diskon sendiri?” (Waduh, itu dokter ikut multi-level ya??? Sudah bintang berapa tuh?)

Di meja, sekian wadah kaca berwarna itu tinggal menanti sentuhan pembuka botol, maka, isinya dengan segera akan mengalir ke perutnya, diproses lebih lanjut untuk selanjutnya dibuang di toilet, sementara liver dan ginjal-nya akan bekerja begitu keras untuk menetralkan racun yang menumpuk.

Tapi dia tertegun, sebab pendapat berbeda tentang para peminum yang diciptakan oleh Suhu Peminum (dengan catatan “Untuk Kalangan Sendiri”) tiba-tiba terngiang di telinganya, samar-samar, seperti:

“Peminum Hebat adalah mereka yang setelah menenggak sekian botol tidak sempoyongan dan kehilangan kewarasannya”

“Peminum Bermartabat adalah mereka yang minum bukan karena ingin melarikan diri dari masalah hidup yang menghimpit kian berat”

“Peminum Tepat adalah mereka yang bisa melaju dengan percepatan maksimum dan berhenti tanpa mengerem mendadak di lampu merah”

“Peminum Cermat adalah mereka yang bisa memperkirakan neraca laba-rugi akibat minum dan tetap berani berinvestasi dan mengambil risiko”

“Peminum Sehat adalah mereka yang masih sanggup mendonorkan darah di PMI dan lulus uji toksisitas sebagai Pengemudi”

lain-lainnya seperti peminum berat, peminum gawat, peminum lewat, peminum terlambat, peminum bantat, dan lain-lain tidak pernah dan tidak ingin diingatnya, sebab julukan-julukan itulah yang selama ini mencemarkan nama baik dan kehormatan korps peminum…

maka, diambilnya sebotol lagi, dibuka pelan dan dituangkan ke dalam dua gelas kosong yang berhadapan di atas meja

ia mengangkat gelasnya dan melihat satu tangan meraih gelas satunya
dan “toss” gelas berdenting saat beradu pelan

kemudian, setelah menuntaskan minuman di tangan kanannya, ia menandaskan isi gelas di tangan kirinya sampai tetes terakhir, lalu menyeka buih yang menempel di ujung kumisnya dan berkata:
“Cukup untuk saat ini, besok malam kita party lagi…”

Selasa, 08 April 2008

PENGAKUANKU-06 APRIL 2008

Benar…
Aku tidak punya energi yang sanggup memijarkan besi sampai putih
Aku tidak punya energi yang sanggup menghalangi debur gelombang memecah di pantai
Aku tidak punya energi yang sanggup menggerakkan revolusi
Aku bahkan tidak punya energi yang sanggup membuatmu berbisik “Sayang, Aku juga mencintaimu.”

Sesekali,
Aku punya lilin dan korek api yang sementara cukup mengusir kegelapan separuh malam
Aku punya kran, karet, dan plastik untuk menghentikan air meluber dari penampungan
Aku punya sapu dan kain pel untuk membersihkan lantai yang berdebu
Tetapi, aku masih belum punya cukup tenaga untuk membuatmu berhenti dan tersenyum sejenak padaku

Yang kutahu, aku memang bukan siapa-siapa, belum jadi apa-apa,
dan mungkin takkan jadi apa-apa
Aku hanya penjaga malam yang masih ingin belajar mengucap “YA” dan “TIDAK” dengan jelas, dengan sepenuh hati, tanpa basa-basi
Aku hanya punya kata-kata yang menolak disimpan dalam kepala
dan berontak meninggalkan jejak di atas kertas
Aku hanya punya pena yang terlanjur senang berlari
dan melintasi kegelisahan demi kegelisahan

Dan memang benar,
Setelah kuakui semua yang tidak kumiliki
Aku memang tidak punya apa-apa
Yang tersisa dariku hanyalah hati yang belum mau beku dan menjadi batu
Yang seringkali masih menggigil oleh ragu di hadapan waktu
Yang mencoba bersetia dengan rasa dalam kata
Yang masih ingin lafalkan “AKU CINTA PADAMU!” dengan Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar, mengikuti kaidah-kaidah baku Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), dan berpatokan pada pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Inilah aku
Inilah pengakuanku
Padamu

SURAT SEORANG TAHANAN KEPADA ISTRINYA- 25 OKTOBER 2007

Apa kabar, Sayang? Aku masih bingung apa yang akan kutulis. Aku juga tidak tahu siapa yang akan kukutuk atas kesialan ini. Seandainya kutujukan padamu, kau hanya akan tertawa terkikik-kikik lalu buyarlah semua itu, ilmu yang sudah kupelajari lama dan kurapal saat-saat penting saja.

Sedang apa, Sayang? Kautahu aku sudah jarang bercumbu dengan malam. Gigiku pun makin sering memberontak. Kopi yang kaukirim tiga bulan lalu sudah habis minggu kemarin. Ingin kupesan lagi, tapi aku tak punya uang lebih saat ini. Maka kutahankan saja minum kopi sambil berkali-kali meludahkan ampas jagung yang melayang di permukaan gelas itu.

Bagaimana ladang kita, Sayang? Saat panen tiba, rayulah lagi bapak-ibumu untuk menanggung segala urusan. Toh, mereka juga yang selalu mendesak kita dulu untuk kawin cepat-cepat. Maka mereka juga masih punya saham untuk cucu-cucunya itu. (aku tahu kata-kata itu dari seorang akuntan yang sedang sial, ketahuan mencurangi pembukuan dan lalu ditabung di sini.) Dariku cukup doalah dulu, lain-lain menyusul. Kalau wajah pemilik warung depan itu sudah menjadi bulan sabit lagi, mungkin lebih baik kau keluar lewat pintu belakang saja setiap keluar rumah.

Jangan tersinggung, Sayang. Mereka hanya sedang rajin menerapkan prinsip ekonomi. Nanti juga capek sendiri, seperti anak kecil yang setiap kali mengagumi sepedanya yang baru dibeli. Kaupun tahu, aku selalu bayar utangku, itu kan hanya soal waktu. Ya, aku mengaku. Memang ada sedikit uang kutabung. Tapi, kalau kukirimkan padamu, nanti aku tak punya lagi ongkos pulang. Belakangan jarang ada order. Kau pun tahu, aku bisa bekerja keras-apa saja-asal setiap hari bisa melihatmu. Gombal? Ah…aku selalu jujur padamu Sayang. Jangan cemas, aku tidak akan melirik wanita lain. Laki-laki=Buaya Darat? Omongan orang jangan terlalu dipikirkan, anggap saja mereka sirik dengan kemesraan kita. Ato suruh saja belajar biologi, biar tahu buaya adalah makluk yang sangat setia pada pasangannya. (nah, kalo yang ini, kutau dari seorang ahli reptile, yang karena cintanya pada buaya, menaruh puluhan anak-anak buaya di danau kota. Karuan saja semua orang geger, dan dia pun diternakkan sementara di sini.)

Eehhh..kok malah jadi ngelantur ya? Ya udah. Gini aja. Kirimkanlah cintamu bergelondong-gelondong, semampumu. Biar kurajut jadi selimut buat menghangatkan malam. Soalnya, sarung yang kubawa dulu sudah robek-robek. Iya, aku memang selalu mencucinya pelan-pelan, dan tidak pakai sikat lagi. Tapi mau bagaimana? Pelapukan kan tak bisa dilawan.

Okelah…terimakasih Sayang. Terlalu banyak yang ingin kutulis, tapi entah kenapa, aku selalu bisa berhenti, tepat sebelum kertas ini habis. Peluk ciumku untukmu, juga untuk anak-anak kita : Eka, Dwi, Tri.

Ttd. Suamimu: Zero

NB:
1. seandainya kita nanti dikaruniai anak yang keempat dan terlahir laki-laki, kurasa kau pun takkan keberatan menamainya Catur. Tapi kalau perempuan, CITRA bagus juga tuh. Aku lebih senang kalau perempuan, sebab dia pasti mewarisi kecantikanmu.
2. setiap ada kesempatan berfoto, akan kukirimkan padamu, sehingga anak-anak bisa mengikuti perkembangan kerut-keriput di tampang hitam bapaknya.
3. seandainya mereka punya lamunan yang bertingkat-tingkat dan berlantai marmer, ingatlah selalu untuk mencubit mereka supaya sadar, dan belailah lembut kepala mereka. Setelahnya, suruh belajar yang rajin, supaya masa depannya tidak jadi gubuk reyot seperti bapaknya ini.
4. eh…satu lagi. Apa si Rojali, sopir Angdes itu masih rajin mengklakson di muka rumah? Sampaikan salamku untuknya, bilang jatah hukumanku setahun lagi, tapi bakal dapat remisi minimal enam bulan.

MENUNGGU-16 SEPTEMBER 2007

“Menunggu siapa?” tanyanya
“Tak menunggu siapa-siapa.” jawabku kemudian
Setelah dua jam
Ia diam saja
Esoknya, esoknya lagi, dan sekian besok lagi
Dia tanyakan hal yang sama
Dan jawabanku sama juga
Kelanjutannya juga sama
Ia tetap diam saja
Aku pun duduk dan meneruskan khayalanku

Suatu waktu ia bertanya
“Kapan kau pergi?”
aku tak siap menjawab, lebih karena terkejut pada manuver pertanyaannya
“Emangnya kenapa?” tanyaku balik, sambil otakku berputar keras menyusun kalimat yang jelas, ringkas , dan tepat sasaran
“Bosan menunggumu!” jawabnya singkat.,

Aku segera bangkit dan kabur
“Ya ampun, orang gila dari mana lagi ini?” pikirku
saat terbirit-birit menyelusup di sebuah gang becek dan sempit.

MUNGKIN-KISAH

MUNGKIN-sekitar SEPTEMBER 2007

Mungkin ada yang melihat purnama tadi malam dan menganggapnya mirip kue serabi (walau gosongnya tak rata)
Mungkin ada yang berkata, itu lampu taman yang tetap cemerlang saat lampu mati
Mungkin ada yang merasa cahaya itu hangatkan sesuatu di hatinya
Mungkin (sebenarnya) ada orang yang hanya ingin katakan “Selamat Sore.” tapi lagi-lagi bertele-tele sebab penyakitnya memang begitu, maka dia ketikkan saja semua itu sambil keringatan, sebab kulitnya yang hitam belum juga berdamai dengan hawa panas
Dan mungkin penerima sms ini membaca sejenak
Mungkin dia berkata “Ah, ada-ada saja!” dan mungkin dia sudah paham langkah berikut tanpa melongok inbox
Mungkin dia heran, kok masih ada ya manusia kayak gini?
Maka kataku : Tanya Kenapa




KISAH SEORANG PENGANGGURAN-sekitar SEPTEMBER 2007


Tuhan…
Malam ini purnama
Kulihat bentuknya mirip kue serabi bundar
walau gosongnya tak rata (tapi dari segi artistic boleh juga tuh)

Sebenarnya aku sudah kenyang-tapi jadi ingin makan lagi
Maafkan aku Tuhan,
aku masih manusia
masih sulit berucap “Cukup” dan “Terimakasih” dengan sepenuh hati
yah…agak di bawah kategori Rakus minuslah

memang di negeri kami
orang lapar masih bisa dihitung dengan survey Bank Dunia atau BPS
tapi, percaya aja deh, jumlahnya banyak sekali
mungkin, di antara mereka, ada juga yang memandang bulan
dan menganggapnya kue serabi-sepertiku
dan setiap potongannya berkurang
mereka akan saling menebak
siapa ya? Yang beruntung makan itu kue tadi malam?

Mohon ampunilah Tuhan, hamba-Mu ini jadi ga enak hati
Sebab jarang sekali mau berbagi dengan yang lain

Bagaimana pula kalau ada yang memandang ke atas
Dan berdoa bulan berubah:
Supaya kekal menjelma jadi buah
Dan orang-orang yang berseru “KAMI LAPAR”
Duduk bersila dan menikmati setiap potongannya dengan hikmat

Mana yang akan Kau dengarkan Tuhan? Penggemar kue serabi atau penikmat buah-setengah vegetarian? Atau orang lapar lain, yang tak bersungut-sungut sambil mengelap kemiskinannya sampai kinclong setiap hari?

Di negeri kami, orang lapar banyak sekali, Tuhan
Puluhan juta-walaupun para ahli masih sibuk berdebat tentang validitasnya
Dan pemerintah cukup berdehem dan melakukan jumpa pers singkat

Walau memang benar, ulah sebagian orang yang tak pernah kenyang di antara kami juga yang menjadikan keadaan tetap kacau dan malah semakin runyam
Maka menjadi tugas kami jugalah memperbaiki keadaan yang payah ini
Dengan seizinmu tentunya
Sebab kamilah yang Kau utus untuk hidup di dunia ini
Saat ini
Di tempat ini

Ah, Tuhan
Berat nian tugas kami ini
Sebab kami sungguh menikmati setiap kesenangan
Apabila kami mendapatkannya
Dan terpaku pada semua yang nikmat itu

Lagi-lagi, ampunilah kami Tuhan
Kami pun sering heran
Betapa sabarnya Engkau pada milyaran orang sebelum dan saat ini
Yang selalu tidak puas, merengek, dan menuntut

Maka bantulah kami Tuhan, dan maklumilah jika upaya kami sungguh tidak memenuhi Standar Operasional Prosedur dan target yang ada

Tapi, terlebih dahulu, berilah kami pekerjaan pada hari ini…
***************************************
lelaki itu menatap coret-coretan yang baru selesai dibuatnya
dipandanginya lekat-lekat tulisan cakar ayam itu dari awal sampai akhir
kemudian dibacanya berkali-kali

ia mencoba menafsir
bahwa tulisannya itu didasarkan pada realitas konkrit masyarakat sekeliling
tapi kemudian ia kesal, jangan-jangan semua itu hanyalah perujudan dari alam bawah sadarnya, yang masih risau karena dia sampai sekarang belum bekerja

dia pun takut, jangan-jangan nanti ada yang membaca tulisannya itu dan menuduhnya bermain-main dengan nama Tuhan

segera diremasnya kertas yang sudah penuh itu
dilemparkannya dengan shoot yang melengkung indah ke tempat sampah
sambil berteriak “ Dasar Penganggur Kancut!!!”

(mohon maaf, Kancut=celana dalam)

PERTANYAAN ITU-10 AGUSTUS 2007

“Kapan?” tanyamu
“waktu tidak kulipat di dompetku. Mana kutahu?” ingin kujawab demikian
tapi, aku sedang malas ngomong
maka kuberikan saja sepotong senyumku (yang mahal itu)
Ajaib, kau malah tidak bertanya lagi (dan ini sungguh di luar kebiasaanmu)
Jadinya aku yang penasaran, ingin balik bertanya
“apakah kau sesungguhnya benar-benar ingin bertanya padaku?”
tidak jadi, sebab kau keburu berlalu
tinggal parfummu samar menguar

MALAIKAT DAN SEKALENG CAT TEMBOK-01 April 2008

Mungkin tak sempat dibayangkannya, ketika ia datang di suatu senja yang sedang lapuk-lapuknya dan berselubung gerimis yang sok dramatis, seorang pemuda kerempeng bermata merah akan membentak-bentaknya dengan penuh kuasa “ Kok terlambat, Bung? Harusnya tadi siang anda sudah di sini, ini genteng sudah bocor lagi.Untung aku terbiasa bekerja efektif dan efisien.”
Ia diam saja dan memandang berkeliling. Masih terserak pecahan genteng, cat lama yang sudah dikerok sampai mengelupas, dan di sudut, teronggok kain kotor yang sudah tumpah dari mulut ember. Ia datang dalam damai, dengan niat yang sungguh tulus bertemu manusia, tapi disambut dengan cara yang lumayan kasar. Bukannya dipersilakan duduk lalu disuguhkan es teh atau es jeruk, atau dItawari makan-malam dengan basa-basi. Atau ditanya dengan hangat, “Apa kabar?”
Ah, manusia sama saja dari dulu, tidak sabaran. Manja. Maunya menang sendiri. Sering cemburu. Egois. Gampang ngambek. Merajuk. Selalu ingin jadi pusat perhatian. Ingin dimengerti, tapi tak mau mengerti. Lalu berdebat tak habis-habis. Tak puas, memancing duel. Perang. Bermusuhan. Idih…ia sampai bergidik.
Sebenarnya ia ingin sekali menjelaskan alasan keterlambatannya. Ia tahu, berdasarkan hukum yang berlaku di negeri yang didatanginya itu, seorang pembunuh sekalipun, berhak dianggap tidak bersalah sampai pengadilan membuktikan sebaliknya, setelah melalui berbagai prosedur yang baku, di pengadilan, di depan hakim dan jaksa, panitera, dan tentunya dengan didampingi seorang pengacara. Dengan kalemnya negeri itu masih menganut Asas Praduga Tak Bersalah, yang seringkali membuat koruptor besar melangkah dengan tenang lalu terbang melalui bandara besar ke luar negeri, lalu menikmati hari tua dan ongkang-ongkang kaki di sana sampai mati dengan nyaman. Dan ia tahu persis, di negeri itu, hukum masih bisa dikentuti. Tapi, ia tidak ingin berdebat panjang-panjang. Maka ia tetap diam.
Ia kemudian memperkirakan, seandainya pemuda itu tahu, banyak masalah yang dihadapinya dalam perjalanan ke bumi, mungkin ia akan sedikit berempati. Tapi, ia pun tak ingin berbicara lebar-lebar. Dalam lamunannya kemudian, ia merunut kembali perjalanannya tadi.
Awalnya, ia terbang santai dengan kecepatan standar, tapi lalu terkaget-kaget dan menyingkir, ketika hampir saja badannya tertabrak sebuah rudal yang meluncur kencang. Turun lagi, ia hampir pingsan oleh awan berbentuk cendawan yang menjulang tinggi. Akibatnya kecepatannya berkurang drastis. Untung ia masih punya sistem pernapasan yang kuat dan sanggup menetralisir racun. Tapi, ia masih saja prihatin, manusia belum kapok-kapok juga berperang melulu. Agak ke bawah sedikit, sebuah pesawat ternyata memotong seenaknya, lari dari jalur penerbangan yang sudah ditetapkan. Lebih ke bawah lagi, matanya kian perih akibat asap kebakaran hutan. Tapi ia jadi tahu, ia sudah di atas Indonesia.
Parahnya lagi, orang yang hendak ditemuinya ternyata menyandang tiga KTP. Karuan saja ia harus bertanya kanan-kiri untuk memastikan dimana pemuda itu tinggal, kemudian setelah celingak-celinguk terbang lagi ke tempat lain, sampai ke posisi terakhir, yang kebetulan benar pula. Ia pun masih harus menikmati pandang penuh curiga dari Ketua RT dan kerling penasaran dari beberapa gadis yang kemudian tertawa cekikikan. Ia bisa mendengarkan pembicaraan orang tentangnya, tetapi ia diam saja. Mereka pikir ia tak mengerti bahasa daerah. Dia kan malaikat, dan malaikat tak butuh penerjemah. Mereka membicarakan bungkusan berbentuk tas di pundaknya yang tak dilepaskannya sejak tadi. Jangan-jangan bekpeker kere, kata seseorang dengan lidahnya yang medok. (maksudnya backpacker=petualang yang bepergian dengan kantong tipis, dan perlengkapan sekedarnya saja, hanya dalam satu tas punggung.). Paling dia hanya pura-pura tanya alamat, dan kemudian mengaku tersesat, kehabisan uang akibat ditipu di jalan, dan ujung-ujungnya minta menompang di rumah penduduk, tapi masih minta disediakan air panas untuk mandi dan makan malam gratis, kata seseorang sinis, membumbui. Jangan-jangan itu bom, kata yang seorang lagi. Hush…apa yang mau dibom disini? Kuburanmu? Kambingmu? Lalu mereka tertawa-tawa. Padahal bungkusan itu hanya penyamaran, untuk menyimpan sayapnya yang kelelahan. Apa boleh buat? Ia sudah terlambat, dan tak cukup waktu menata tampilannya.
“Hei, kok bengong? Itu jatahmu” sergah pemuda itu. Tanpa sadar, di tangannya ia sudah memegang sekaleng cat tembok dan sebuah kuas. Ia lalu memandang dinding yang ditunjukkan tangan kurus itu. Sejak pertama kali bertemu manusia, ia sadar harus banyak belajar, juga mengurusi tetek-bengek yang seabrek jumlahnya. Tapi, setiap kali ia merasa sudah cukup belajar, selalu saja dalam praktiknya ada yang kurang. Manusia selalu saja berimprovisasi, menghabiskan waktu dengan urusan-urusan yang tak jelas.
“Ah, seandainya bocah gendeng ini tahu, di atas sana warna tidak pernah pudar.” batinnya. Dan ia terpaksa membaca lagi, seberapa banyak air harus dicampurkan ke dalam cat itu. Apa boleh buat, ia sudah terlanjur berjanji membantu si pemuda kerempeng dan kere. Padahal ia masih punya tugas memberitahukan peringatan pertama, bahwa si pemuda akan mati muda, kalau saja cara hidupnya tak berubah juga. Nanti minta bantuan dokternya sajalah, bisiknya sambil mulai mengecat tembok kamar yang tadinya berjamur.
“Hei…bukan gitu caranya. Dari atas ke bawah, biar rapi.” Teriak si pemuda dari jauh, sambil menyeruput soda gembira-nya, di warung burjo.
“Dasar manusia, mau mati saja masih berlagak!” gerutunya pada akhirnya. Tentu saja si pemuda tak mendengar, sebab ia kini sibuk berteriak mengikuti pertandingan bola di televisi, LIVE!

Selasa, 01 April 2008

—PEMBICARAAN TERPUTUS YANG BIKIN BINGUNG -22 Oktober 2007-

Di keheningan pagi yang kini dirasakannya semakin mewah, ada sms masuk ke hp-nya. Dibacanya nama pengirim tertera di sana. Ia pun segera paham, pengirimnya adalah seorang temannya yang sudah lama tak dijumpainya. Maklum ia kini bekerja di ibukota, sedangkan temannya ini masih saja setia memunguti celotehan para dosen di kampusnya dulu.
Sebenarnya, seandainya pengirim sms itu memakai nomor lain dan sekalian juga tidak mencantumkan namanya, ia hampir bisa memastikan bahwa pengirimnya pasti temannya itu.

Siapa lagi?

Dia memang bukan paranormal yang sering diwawancarai di televisi dan setelahnya membuat orang yang menonton (dan kemudian percaya) jadi tak bisa tidur, tapi entah bagaimana dia yakin saja. Hanya temannya yang satu ini, sepanjang yang diingatnya yang bisa duduk berjam-jam sambil mengerutkan kening dan merengut karena persoalan yang bagi orang lain sepele saja, seperti mengapa ia terbiasa memakai sepatu dan sandal dari kiri terlebih dahulu, demikian juga dengan celana, mengupil, cebok, dan sederet aktivitas lainnya yang berhubungan dengan tubuh bagian kiri. Bahkan mengayuh sepeda saja ia selalu mulai dari pedal yang kiri. Temannya ini juga sering mengirim sms untuk memberitahukan hal-hal yang menurutnya sepele saja, seperti pembelian celana dalam baru, kamar yang baru dicat, uban yang muncul diam-diam dan setelahnya tak bisa diusir, bahkan mimpi tadi malam dan gigi yang kadang-kadang ngilu.

Ia kemudian membaca sms itu, singkat saja isinya “HIDUP BERARTI SUNYI!”

Kata-kata seperti itu sebenarnya sudah sering didengarnya dan dibacanya, terutama ketika topik yang dibicarakan adalah kebosanan dan rutinitas yang kian menjebak manusia. Ia pun sebenarnya mengakui, baginya perkataan itu ada benarnya. Ia hanya tak berminat saja mempermasalahkan hal seperti itu terlalu lama, karena waktu bergerak terus, dan ia punya setumpuk pekerjaan yang harus diselesaikan sesegera mungkin. Belum lagi tagihan listrik, telepon, air, kartu kredit, arisan, dan segala macam iuran kampung yang hampir jatuh tempo. Bisa jadi sudah jera juga ia, ketika dulu sering berlama-lama diskusi dengan orang-orang yang mengaku pakar untuk bidang itu, dan ia merasa masuk dalam labirin yang berputar-putar dan rasanya makin tak berujung.

Dia baru hendak bertanya, sekedar berbasa-basi “Maksudmu apa?” , tapi pulsanya bahkan tidak mencukupi untuk satu sms terakhir, dan sudah jelas, anggaran pulsanya untuk bulan ini sudah habis. Maka dia putuskan saja untuk tersenyum dan mengambil kesimpulan dengan cepat “ Orang yang berlagak jadi penyair memang biasa cari sensasi.”

CERITA YANG DIBUAT-BUAT-05 FEBRUARI & 20 MARET 2008

Laguku biru
Saat di bawah matahari aku berjalan mencari laut yang kesekian
Untuk serahkan bibit perdu pada halaman gelombangnya yang luas tanpa debu
Supaya disimpannya dengan baik, menunggu waktu yang tepat
Seharusnya kubawa pohon-
tapi hutan-hutan terlanjur berpamitan pergi ramai-ramai
Mengikuti para TKI berburu dolar ke luar negeri
Lagipula, siapa sih yang mau menemani memanggul pohon menembus keramaian di tengah-tengah kota, saat panas terik?
Kecuali nekat disangka gila, atau berani ditangkap atas tuduhan illegal logging, atau memang sengaja cari perhatian dan bermimpi jadi selebritis dadakan

O, laut
Yang berkerut dan berdebur selalu
Terimalah semua ini
Seperti dulu
Ketika kau terima lembaran-lembaran yang kutulis saat hujan malam-malam ditemani lilin-lilin yang berbaris tertib lalu bunuh diri sebatang demi sebatang
Surat-surat yang menguning dan berdebu, yang dulu kutulis dengan begitu sungguh-sungguh untuk tidak jadi kukirimkan
surat-surat cinta yang akhirnya kulipat jadi kapal-kapalan dan kulayarkan di tubuhmu

O, laut
Kau tahu, aku sedang belajar menganyam
Sebab aku terinspirasi cerita Musa saat bayi yang dihanyutkan ke Sungai Nil dalam peti pandan yang dipakal dengan gala-gala dan ter, untuk menghindari pembunuhan oleh Firaun yang kejam
Aku akan menganyam peti pandan dengan rangka rotan, tapi untuk memastikan kekuatan dan keawetannya, aku akan lapisi dalam dan luar dengan fiberglass dan kurekat dengan lem khusus tahan air
Dan kau jangan salah sangka dulu, aku tidak akan menghanyutkan bayi siapapun, bukan juga diriku, dan juga bukan untuk surat-surat cinta yang memang sudah tak pernah kutulis lagi
Di dalamnya akan kumasukkan tanah subur
Tugasmu menanam bibit perdu itu dan memastikannya tumbuh, dan melindunginya dari manusia-manusia yang serakah serta makluk-makluk tak berkepentingan
Kau atur sendirilah bagaimana caranya
Aku yakin, ada saja pasangan burung kecil yang bahagia, yang melintas di atasmu untuk mencari rumah yang takkan digusur manusia, tapi kepayahan akibat jauhnya perjalanan
Biarlah mereka singgah di sana, termasuk jika mereka memutuskan untuk tinggal dan menganggapnya home sweet home, beranak-cucu dan berketurunan

Tahun-tahun berikutnya, ketika aku bangun di pagi yang basahnya sedang-sedang, dan ada burung-burung bernyanyi di ranting pohon di luar jendela kamarku (semoga nanti aku punya rumah dan pohon tumbuh di sana), aku bisa sedikit menebak-nebak
Mungkin burung-burung ini lahir di laut, di atas perdu yang tumbuh dalam peti yang kubuat dulu

Sebelum tidur mereka terbiasa mendengarkan potongan puisi-puisi cintaku yang disimpan laut sahabatku dengan rapi dan diserahkan kepada ibu-bapaknya, lalu nyenyak oleh buaian lembut laut
Dan karena mereka memang cerdas dan punya jiwa seni, seluruh rangkaian kata itu sudah berubah menjadi lagu

Kalau tidak begitu, mengapa setiap pagi mereka bisa melantunkan lagu yang berbeda, di ranting pohon, di depan jendela kamarku?
Kalau tidak begitu alurnya, siapa yang bisa memberikan padaku, penjelasan yang lebih memuaskan?

MALAM-04 MARET 2008

MALAM-04 Maret 2008
Antara mereka yang berpelukan dengan malam dan aku yang terperosok di sini
Adalah jarak yang ditunjukkan lampu-lampu jalan yang temaram
Yang seakan menyapa tapi juga diam
Membuatku ingin bicara tentang keabadian
Padahal belum pernah aku dari sana
Bertemu orang yang pernah kesana juga belum

Kucoba petakan lekuk-lekuk malam, tapi baru sampai di ketiaknya yang basah berbau
Aku sudah terkejut dan melompat, karena itu aku sampai terperosok
Ternyata persoalan raba-meraba malam bukan urusan orang kurang umur
Sekian lecet jadi tanda peringatan bagiku

Baiklah…baik.
Kalau memang harus begitu
Aku akan menunggu umurku bertambah,
dan sampai saat itu tiba, aku akan bercinta secukupnya dengan senja, sekedar pemanasan
Mudah-mudahan sempat
Sebelum malam bertambah tua lalu membangkai dan menjadi bau

Akan kutanyakan juga, mengapa ia begitu mempesona
Dan dengan begitu saja membagi dirinya kepada orang-orang yang berlagak jadi kelelawar
Tapi, hebatnya, ditindih ramai-ramai oleh sekian banyak orang, ia tidak pernah kepayahan
Ah, aku terdiam dan sadar
Bukan malam yang akan membangkai dan menjadi bau
Tapi orang-orang seperti aku, yang merabanya dengan berdebar-debar, dengan nyali yang tanggung

Yang pasti, akan kujumpai malam, bagaimanapun caranya
Dan sudah kuputuskan, aku hanya akan ngobrol secukupnya saja,
sambil minum kopi dan merokok
Setidaknya, dengan begitu, aku bisa melupakan sejenak kematian yang bersembunyi di simpang jalan

KENANGAN-07 JANUARI 2008

Adalah kabut yang putihkan pandang dari puncak bukit
Dan dingin yang bikin menggigil saat matahari menghilang
Dan…Ya! Gravitasi yang membuatku tetap berdiri disini


Asap tipis dari rokok disulut seseorang di depanku
Perlahan mengepul mantap, menjadi kemenyan yang dibakar di sabut kelapa
lalu buyar, berubah menjadi pembakaran dari jerami basah setelah panen gagal

Menuruni bukit
Ribuan kunang-kunang berkelip di semak-semak menyambutku
Mereka dilupakan kota yang menyalibkan malam dengan pesona lampu-lampu
Dan terlewatkan pandang tak seksama

Malam ini, dalam perjalanan pulang, lagi-lagi aku masih berpikir
Dengan apakah kau akan kukenang
Setelah melupakanmu terlanjur jadi proyek yang tak tuntas
Sendu dan nyeri tak bisa terbungkus rapi dan terkadang masih bisa terlihat dalam bayangan yang ditelan gerimis

Ah, kenangan…, sebegitu norakkah warnamu?
Mungkin sebaiknya kutinggal saja kau di padang terbuka
Di antara semak dan alang-alang
Dan kubiarkan alam mengambil-alih tugas mewarnaimu sampai pudar