Selasa, 27 November 2007

Suatu Hari Nanti-YA, SUDAH!

Suatu hari nanti
Kita duduk-duduk lagi di taman itu
Mungkin
Bicara tentang masa lalu yang kian remang dan masa depan yang sudah mendekati limit
Masa kini? Kan sedang terjadi, yaitu duduk-duduk di taman, jadi buat apa dibicarakan lagi?

Suatu hari nanti
Kita ingat teman yang sering duduk di samping kita
Bangku itu kosong kini
Dulu ia yang paling rajin hadir di sana
Sekarang ia cabut duluan
dibawanya mukanya yang tanpa ekspresi itu diam-diam pergi
dan kita masih saja penasaran, apa saja yang masih dipikirkannya


Suatu hari nanti
Sebelum kita tak sempat mampir lagi
Sebelum kita kerutkan kening hanya untuk mengingat wajah teman kita yang lain
Sebelum kita makin asing dengan bau keringat masing-masing
Kita kenangkan saja perbantahan yang tak putus-putus dan cinta yang meranggas itu
juga senyum yang sudah kita pasang sejak subuh dan tak digubris bahkan saat senja tiba
dan kita masih saja tersenyum
masak mau merengut? kan cepat tua!
dan hasrat hati yang mengkristal itu kita simpan dalam gudang ingatan yang sumpek dan kita biarkan dimakan rayap, walau sesekali kita coba bersihkan dan ceritakan pada anak-anak dan cucu-cucu kita yang tak lagi heran melihat orangtua atau kakek-neneknya yang sentimentil dan senang barang-barang kuno (orang-orang tua selalu begitu)

Suatu hari nanti, mungkin akan kubaca kembali sajakku ini dan kumaki-maki diriku sendiri, kenapa masih sempat-sempatnya menulis seperti ini….
Tentu saja aku belum tahu apa yang akan terjadi nanti, jadi, supaya kemungkinan itu masih punya peluang untuk terwujud, ya kubiarkan saja tulisan ini apa adanya, dan kubiarkan juga kalian membacanya…




YA, SUDAH!26 November 2007

Kau mau pergi katamu?
Melesatlah dari celah pintu yang sudah kaukuak
Seperti angin
Engsel yang sudah kuminyaki kemarin takkan berderit apalagi menjerit
Jadi akan kulanjutkan mimpiku dengan tenang dan nyaman

Ya, ya, ya, mungkin aku akan sedikit merindukanmu
Kala gelas kopi tinggal ampas dan mulutku asam minta rokok
Kalau di dapur tak ada nasi dan ranjang terlalu lebar buat sendiri
Tapi kupikir-pikir, selebihnya tidak

Aku pelupa, tapi setidaknya masih ingat
Bahwa “kesetiaan” dan “selamanya” tak pernah ada dalam kamus kita
Itu kejujuran tertinggi sebagai sesama pembosan
Kita sepakat, janji adalah janji, dan bukan rantai yang membelenggu

Dan sebagai lelaki angkuh, takkan kujemput kau ke rumah orangtuamu
Tapi kalau kau datang kembali sendiri, akan kuterima dengan senang hati tak banyak basa-basi

Tapi, sekiranya bisa
Kalau kau tetap ingin pergi, jangan kelamaan ya
Nanti aku bingung sendiri

CUKUPLAH DULU, SAYANG-SEMOGA-DUA TEMANMU

CUKUPLAH DULU SAYANG-24 Oktober 2007

Ya, aku tahu tidak baik membuang-buang makanan
Sebab masih banyak orang kelaparan di luar sana
Maka rejeki ini sepatutnya kita syukuri


Tapi apa yang harus aku lakukan
Kenapa aku yang selalu kebagian jatah
Menghabiskan seporsi kesunyian yang terhidang di meja makan di dapur
Yang kau sediakan di dalam pinggan porselen bermotif teratai itu
Aman tersimpan di bawah tudung suji berenda mawar
di bawahnya lagi taplak meja bergambar hutan cemara

aku memang menggemari makanan seperti itu
tapi bukan berarti setiap hari aku menginginkannya
aku juga masih punya rasa bosan
dan hidup juga butuh variasi
kau juga marah kan, kalau aku pakai baju yang sama tiap hari

maaf, bukan maksudku menyinggung perasaanmu
kutahu, kau sudah berbaik hati memasak untuk kita selama ini
aku sungguh ingin menghargai ketulusanmu

Tapi, hampir tak bisa kutahan diriku untuk memohon
Sekali ini saja, bolehkah aku makan di luar?
Atau supaya kita tidak bertengkar, maukah kau tidak memasak satu hari saja?
Sekali-sekali tidak makan tidak apa-apa bukan?


*****************
SEMOGA-20 OKTOBER 2007
Tak kutemukan jejak pertemuan kita kemarin
Mungkin petugas dari DKKP sudah menyapunya tadi
Sebab ketika aku berkeliling lewat pukul empat subuh jalanan sudah bersih

Tapi siapa yang tahu pasti
Sebelum mereka ada pasangan memungutnya untuk mengenang cita masa muda sambil berpegangan pada jemari keriput masing-masing
Atau bisa saja angin berkejaran dan bersembunyi di ceruknya dan ketika menghambur lari lagi tinggalkan semua berantakan
(lagipula jejak kita tidak dicetak di atas granit)

Sebelumnya aku sudah tak yakin benar
Jejak itu masih ada
Dan seandainya pun ketemu
Apa yang akan kuperbuat dengannya
Mungkin kusimpan sendiri saja
Sebab kau pasti sudah lupa dan tak pernah berniat menyimpa barang bekas
“Buat apa, menghabiskan tempat saja!”

Tiba-tiba aku punya ide untuk berdoa
Semoga, penyapu jalan tadi yang menemukannya
Dan bisa memilahnya dengan awas di antara serakan kondom bekas sialan dari orang-orang tak punya sopan-santun itu
Semoga ia pulang ke rumah dan bertemu istri yang makin kurus itu
Dan mereka bisa sedikit tersenyum mengenang anak pertama yang dijemput busung lapar bulan lalu
Juga anak kedua yang begitu kompak dengan anak pertama dan diam-diam mengikuti abangnya itu tiga hari lalu
Semoga penyapu jala itu akan setia membersihkan jalan yang terus saja kita kotori lagi
dan walaupun lorong hidupnya tak bertambah lempang, semoga ia terpilih jadi penyapu jalan teladan



Dua Temanmu-30 Oktober 2007

Sebab malam bukanlah sekuntum bunga yang setelah kaupetik kaucium sebentar lalu kauremas dan kaucampakkan di selokan
Sebab malam mungkin berkerabat jauh dengan maut dan tabiatnya pun berbeda jauh pula
Sebab malam bisa ditebak
Ia berkunjung setiap hari dan engkau enggan bicara padanya
Saat dia pergi bisanya kau bangun dengan tubuh segar dan bercanda
Pada pagi
Sebab sepertinya kau sudah pandai menghitung dengan tepat berapa lama malam menunggu dan kau diam saja
Terus tidur
Sedangkan maut tidak pernah memberitahu lebih dulu kapan ia mau singgah
Padahal setiap kau teringat padanya kau selalu berusaha membuka mata lebar-lebar dan mencari setiap tanda kehadirannya, dan sampai sekarang kau masih tergolong amatiran dalam membaca jejak
Ketika dia datang, dia bilang bahwa dia datang hanya sebentar
Tak bisa duduk lama-lama, minum kopi, merokok, atau menggosip tentang janda sebelah
Dan setelah bertemu dengannya kau setuju saja untuk menutup mata seterusnya dan tidak bangun lagi

Masih merembes keheranan dalam diriku
Betapa ternyata kau bisa akrab dengan keduanya

Dan aku masih saja ingin berspekulasi
Apakah mereka sebenarnya punya saudara perempuan yang kautaksir diam-diam?

Prajurit Diusir dari Medan Perang-10 Oktober 2007

Prajurit diusir dari medan perang
Bukan karena menyerah ia
Kata itu belum sempat dihafalnya

Prajurit diusir dari medan perang
Sangkurnya licin mengilap
Amunisi rapi dalam kemasan

Prajurit diusir dari medan perang
Sebenarnya bukan pertempuran dicarinya
Tapi dia lahir di zaman senjata fasih bicara
Dan darah menetes jutaan karet disadap

Prajurit diusir dari medan perang
Bukan waktunya menggugat
Dia sadar
Maka dicarinya arena yang lain
Juga bukan karena dendam
Dia sadar
Lahir bukan di zaman yang salah
Bagiannya memang untuk hadir di zaman rusuh ini
Pernah dibacanya juga
“Ada kalanya orang berperang untuk menghentikan perang”

Prajurit diusir dari meda perang
Merah pipi-pipinya
Cambang halus di jangatnya
Tapi kini makin tajam pandangnya

Walau ia juga paham, bisa saja ini akan jadi pertempuran pertama dan terakhirnya
(namanya juga perang)
Sebaliknya, ia belum tahu tanah mana yang akan menggendong kepala bekunya ketika saat itu tiba

Dan ia pun tegap melangkah kini
Sambil bersiul-siul kecil
Mungkin untuk gadis lesung pipit mata bening suara jernih
Belum jelas, perempuan itu adiknya atau cinta pertamanya

20 September 2007-Kepada Maling Ayam

Berapa harga ayam sekilo, Saudara?
(Maafkan rasa ingin tahuku yang sedemikian besar. Aku ini wartawan baru yang bersemangat dan ditugaskan meliput berita kriminal untuk koran sore. Padahal matamu membeliak, gigi rontok dan bau sangit dari kulit gosongmu tidak boleh tidak harus kutafsir sedemikian-Kau sudah mati.)

Jelas tak mungkin lagi kau menjawab sigap seperti Simbok Bakul Pasar di Beringhardjo saat kutanya jualannya “ Monggo…monggo, mboten larang kok.” Sambil dia tersenyum ramah dan mengusiri lalat ijo yang singgap seenaknya di atas potongan ayam sayur yang gemuk-gemuk itu.

Maka kucoba saja membayangkan, siapa ‘kan melayat di makammu nanti?

Skenario Pertama:
Boleh jadi ibumu. Sambil meratap ia. “Betapa malangnya nasibmu anakku. Kulahirkan kau lewat cucuran darah yang hampir merenggut nyawaku. Kubesarkan diriku dengan sepenuh cintaku. Aku mengusap kepalamu jika kau mengantuk dan belum bisa ttidur karena nasi tadi sore belum cukup mengenyangkan perutmu. Dan mereka mengantarmu pulang berbekal informasi singkat “Dia kedapatan mencuri ayam dan mati dihakimi massa.”

Mungkin beliau rajin membaca juga mengutip kata-kata sarat makna dengan sedikit improvisasi, lanjutnya pedih “Anakku…, anakku…mengapa Kau tinggalkan Aku? Mengapa justru saat anak panah ini melesat untuk pertama kalinya, sasaran yang dituju langsung meleset dan tidak ada siaran ulang?”

Ah! Terlalu sedih!

Skenario Kedua:
Bagaimana kalau istrimu yang datang. Sambil menggendong bayi mungil yang belum lepas susu, berbisiklah ia dengan suara pedih, sebab memang tenaganya belum kembali sepenuhnya. Ia juga bertaruh nyawa saat melahirkan buah cinta kalian, dan suara lirihnya itu teredam ramai dunia, katanya singkat saja “Bukan salah kami punya perut!”

Dan bayi yang sungguh peka itu (mungkin dia kepanasan juga atau mungkin jadi kehausan-minta susu) merespon dengan ikut menangis, air matanya ikut tumpah mengiringi sungai besar dari mata ibunya.

Ah…masih saja terlalu sedih dan dramatis.

Skenario Ketiga:
Jika pacarmu yang datang, bagaimana? Dengan asumsi kau masih lajang.

Tapi, tunggu dulu. Kurasa skenario ketiga ini lebih tak mungkin. Apa boleh buat. Maling ayam belum menjadi salah satu profesi favorit di negeri ini. Di KTP, SIM, KITAS, bahkan KIPEM sekalipun belum mungkin diterakan.

Sebaik-baiknya pengukir nisan, di makammu nanti tak mungkin diabadikannya… “MALING AYAM…Gugur dalam mis mencari nafkah.”

Ah…semua cerita itu malah membuatku miris…

Jadi, cerita apalagi yang mungkin kugali darimu? Apalagi yang bisa kukatakan?

Harus kuakui, kau memang sungguh nekat. Mencuri tanpa survei lapangan , apalagi gladi bersih. Amatiran, pantas saja kau tertangkap.

Dan, massa yang menyambutmu betul-betul ramah. Mereka kirimkan dengan amat hangat sekian balok, kepalan tangan dan tendangan mesra mencium setiap bagian tubuhmu. Sampai mereka berkeringat terengah-engah dan pada klimaksnya, semua menggelinjang dan berteriak “BAKAR!!!” (Sudah tersedia pula secara swadaya, bensin dan korek api.)

Peluh membanjir di tubuh mereka saat lagi-lagi mereka bersorak, senang atas pelayananmu. Jeritmu yang melemah mereka rasakan sebagai desahan puas, dan setelahnya mereka pulang ke rumah masing-masing sambil membayangkan pergumulan barusan.

Maka purnalah gelarmu “MALING” sebab ku memang keburu mati dalam kesempatan pertama, sebelum sempat alih profesi atau naik tingkat.

Mungkin benar, kau hadir pada waktu dan tempat yang salah. Seandainya kau jeli melihat musim dan arah angin. Seandainya kesempatan menyapamu dan kau sendiri rajin belajar. Tidak ada alasan nanggung, jadilah koruptor sejati. Sebab di negeri ini, koruptor besar dan massa amat sulit diadili. Sepertinya memang selalu sulit menemukan pihak yng benar-benar harus dimintai pertanggungjawaban.

Yah, hitung-hitung, kau masih memiliki kesempatan mengelak. Duduk di deretan paling depan dalam upacara-upacara resmi. Boleh jadi kebagian tugas pidato peresmian proyek ini itu dan gunting pita segala. Dan masih ada kemungkinan menerima bintang jasa setelah mati diangkat jadi pahlawan.

Percayalah. Namamu masih sangat mungkin mewangi setidaknya di negeri ini.

Tapi, maaf saja. Saranku ini sudah telat. Maaf! Aku harus mengejar dadline, barusan ada maling jemuran ketangkap, sepertinya perayaannya masih lebih meriah darimu. Maka lebih baik kupakai saja, rumus 5W1H, biar irit kertas. Biar ringkas dan tepat sasaran. Trims

Beristirahatlah dengan tenang.

BAGAIMANA-THE UNFINISHED-RENDEZVOUS-PARDALANAN-YA, AKU-PERTEMUAN-BIARKAN-HAI-SEBAB

Bagaimana-07 Agustus 2007

Seputaran matahari
Lebih
kupikir

Aku lupa tepatnya
Perjumpaan itu
dirimu ambil tempat dalam diriku
Tanpa upacara
Tanpa basa-basi

Kutanya “Betahkah dirimu ?”
Kau tersipu malu
lalu bicara

“Bagimu, adakah waktu prasasti?
Kita bersama di sini
hari ini
Apa lagi?”

Aku tergetar
“Sungguh, kau mengisi ruang kosong itu
setelah sekian lama
jadikanku utuh”

Lagi-lagi kapan, aku tak tahu kapan dinding itu terbangun
Kau berdiam seterusnya di pojok sepi, sering terlupa
Aku sibuk dengan “entah” yang berpendaran di hadapanku

Luka pun mengisi hari-hari, diam-diam
Seperti jantung, berdenyut
Pasti terjadi, karena kita bergerak bersama
dan sakit kadang mendera

Sampai hari itu
Katamu

“Lebih baik aku pergi
Kau menderita
Kita tak harus bersama, bukan?”

Aku tak rela
Bukankah kita sudah sepakat, tanyaku lagi
sepi menderu

“Jangan” kataku akhirnya “tinggallah, masih ada harapan”

Kau menarik nafas
Di pojokan itu
Tempatmu sejak pertama kali datang
Kau memang tak pernah beranjak

Haruskah kau kulepas?




The Unfinished Charter Between Two Rong-07 Agustus 2007

Rong, kutahu
cinta jadikan dunia lebih indah
Namun, bisa juga membutakan kesadaran
Seakan pecintalah pemilik sah dunia ini
lainnya hanya mengontrak

Aku juga paham
kita selalu ingin kelihatan gagah di hadapan lawan jenis
Padahal, belum tentu itu yang mereka senangi dari kita
Menurutku sih, karena aku belum pernah
jadi bagian dari bangsamu
Standar kalian seperti apa ya?

Dengan pertimbangan itu, aku tak hendak mengganggumu
saat kau mereguk kebebasan
Terserahlah, berjumpalitan pun kalian di situ tak kuurusi
Yang sesekali diawali kejar-kejaran di atas langit-langit bangunan ini
di atas kamarku pula
(Walau aku heran, kenapa harus di situ
tak adakah tempat lain?)
Berisik, sudah pasti
Sesuai kebiasaanmu, aku maklum
Dirimu jauh dari yang namanya sunyi
Sama seperti cakar, taringmu, dan penglihatan tajam yang sejak awal memang disediakan untuk melanjutkan hidup

Bisakah perjanjian ini kita sepakati, Rong?
Aku sudah singkirkan pentungan itu ke sudut ruangan
Pegang janjiku sebagai sesama Rong
Sebenarnya aku ingin kita bicara baik-baik saja
Cuma sayangnya, tak ada penerjemah fasih menafsir maksud
Kalaupun ada, berapa harus kubayar
Selain isyarat, aku tak tahu, apalagi yang bisa membuatmu mengaku salah?

Maka kukonseplah demikian

Rong Satu bin Lelaki Birong, Lajang, 23 tahun, Bayar kost dan tinggal secara resmi; selanjutnya disebut Pihak Pertama----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Dengan ini mengadakan perjanjian dengan-----------------------------------------------

Rong Dua alias Kucing Garong, Petarung Gasak, umur tidak terdaftar di Kantor Catatan Sipil, Penghuni Gelap Tetap yang suka gaduh saat berasyik-masyuk; selanjutnya disebut Pihak Kedua---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
********

Sampai situ dulu, Naturalia dan Aksidentalia-nya menyusul
Itu bagian hal-hal yang diperjanjikan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat, juga yang sekiranya perlu kita atur bersama
Kupikir, lebih baik kita berunding dahulu
supaya kau tak merasa dipaksa

Tapi, terus terang aku heran, Rong
Sejak peristiwa itu kau menghilang
tak kelihatan sampai hari ini
Kemana kau pergi
Apakah kau sudah punya pasangan baru

Kalau kau butuh pengakuanku
Ya, akan kukatakan
Aku memang kesal padamu
Karena saat aku berbaring
Lagi-lagi kau ribut-ribut di atas sana
Merongrong benih mimpi di tidurku yang tak nyenyak
Sampai-sampai eternit jatuh di sampingku
Dan debu beselemak di seluruh ruangan
sampai ke kepalaku, padahal aku sudah keramas
Tak perlulah kugambarkan betapa dongkolnya aku saat harus membereskan itu semua
Eternit itu pun belum kuganti

Rong,
Apalagi yang harus kukatakan
Kuusahakan perdamaian
Kau pun tak kelihatan

Betullah kau Rong




RENDEZVOUS-08 Agustus 2007

kita bertemu
lagi
sekian lama
lumut senja menebal
dinding waktu

kita bertemu
lagi
hanya menyapa
beku jabat tangan
teredam suara-suara ramai
orang sekeliling

kita
atau mereka
yang tak nyata

berdiri begini
kakiku pegal-kutahan
terlalu mahal dibuang
kurekam baik-baik segala
pertemuan
dalam ingatan-rencanaku
juga sentuhan jemari
percik antara mata
meredup

tiba-tiba kita berucap bersama
“Cintailah bunga-bunga!”
aku takjub
sekian banyak kemungkinan kombinasi kata
mengapa bisa sama

aku masih diam
kau lanjutkan
“biarlah bebas mekar di hatimu”

Kita bertemu
Lagi

Rasaku
Dirimu tak pernah benar-benar hadir
juga tak sepenuhnya pergi

begitulah

kau kukenang.




Pardalanan-09 Agustus 2007

Santabi Rajanami!
Hinambor ni namate mangkar, jalo do pataruon tu udean.
Songon i do hasomalan
nang marguru tu adat.

Sombanami Rajanami!
Mauliate ma tutu.
Hansit maponggol ulu, humansit dope matompas tataring.
Tapalambas ma partingkian,
jolo pungu ma sude ianakhon
na torop so piga di sihadaoan.




Ya, Aku Mengerti-5 Agustus 2007

Katamu
“Maaf
…….. cintaku
…………….bukan untukmu.”

Aku melihat wajahmu
……………di wajahku
Tergambar di matamu




Pertemuan Malam-09 aGUSTUS 2007

Kusapa di malam
Antara lembah peristiwa
Selamat tidur
Ingin kulipat kenangan
Hadirmu resap perbatasan hari

Biarkan-09 Agustus 2007

Mimpi jadi besar
bukan dosa
Bukankah dalam pengharapan
Impian dari hari-hari tertinggal di belakang
ikut menumpang





Hai-11 Agustus 2007


Pagi, katamu
Pagi, kataku
biasa

Met Siang, katamu
Met Siang, kataku
senang

Selamat Sore, katamu
Selamat Sore, kataku
heran

Selamat Malam, Sahabat, katamu
Selamat Malam juga, Sahabat, kataku
terharu

Mana utangmu, tanyamu

Oh…



Sebab-22 Agustus 2007

Waktuku lintah
……………… Isap hatiku
Tinggal luka gatal berdarah
…………….kenangan

Di Kereta Malam-27 JULI 2007

Kantukku bermuara
Gerak kepala tak beraturan
Sampai lelah sendiri-bangun

Lelaki tua-sadar dirinya-lupa sekeliling
Nyalakan sebatang rokok
Asap tebal berkepulan
Bau kuburan-kutahu dia racikkan kemenyan di lintingan

(Kata siapa uban tanda kebijaksanaan
orang tua bisa pikun
kembali anak-anak
minta balon dan berak di celana)

Kuingat lagi bapak-bapak petani tua
Penggemar berat rokok klembak menyan di Jawa Dalam

Kereta berhenti beberapa jenak
Bau kuburan terus menguar
Hei, bapak tua
Kereta bergerak tak apalah
Angin selalu rajin antar rombongan asap
Menjauh lari bebas

Bayi bangun
Peka
Protes pada dunia, menangis

Si ibu muda sibuk mengipas-ngipas
Angsurkan botol susu
Tangis makin keras
sepertinya dia tak mau
Ibu muda panic

Pedagang bergerak tak habis-habis, lalu pengemis-pengamen
Dengan mantra-mantranya dan senjata perangnya

Lelaki tua lain-ubanan juga-tak merokok
Tersenyum, ucapkan petuah dahsyat
“Sejak zaman baheula, orang miskin sudah terbiasa susah”
kepada penumpang lain, seorang muda yang berkata “biasanya jam segini, kereta sudah di…”
dia sebut satu nama, aku lupa pula

Aku pergi, berdiri di pintu
Sambungan antar gerbong
Bintang-bintang di atas sana, sahabat pelaut berabad-abad
Bulan belum purnama
Sesekali terselimuti awan, lalu muncul lagi

Hangat terasa
(walau bau pesing juga-ini kelas ekonomi, Bung!)

Di stasiun kecil
Ibu tua masuk
Bawaannya dua peti pisang mentah
Tidak laku-katanya, aku mengangguk
Gelar dua alas karung, lalu tidur
Wajah lelahnya damai

Aku haus, kembali ke bangku

Lelaki tua terlelap
Mulut terbuka
Kepala terangguk-angguk
Puntung beku sela jemari
Entah keberapa

Ibu muda memangku anak
Asyik menyusu
Keseimbangan bergerak di alam
Adakah lebih indah
Kasih sayang ibu dan anak

Pelan-pelan ke pintu gerbong
menyapa malam
Kasihan bulan
Dia sendirian
(atau, akukah yang kesepian?)



1 Agustus 2007

Ah, terbius mantra puisikah
Siapa bisa disalahkan

Kelas belum lagi usai
Kata-kata berhamburan keluar
Mereka murid-murid bandel
Topik hari ini jelas tak selesai

Begitu saja, berlarian ke rumah-rumah kalimat
Bertaburan di antara lorong-lorong paragraf
Sembarangan, berebut tanda tanya paling mereka gemari

“Hei…anak-anak, belum waktunya kalian keluyuran!
Simpan “tanya” kalian sekian masa lagi.
Masih ingusan saja sudah mau jadi cerita”

Ajaib, mereka terus bergerak
Tak peduli pada tatapan remeh dan gerutuan kitab-kitab tua
Acak, ke mana saja mereka ingin
Sesekali terdengar jerit kecil
Tentu karena dicubit si badung temannya
Selebihnya tawa riang sana-sini
Mereka sungguh sibuk merias matahari

Kejap berikutnya terasa campur-aduk
Seorang anak tiba-tiba tinggalkan lempung tanah liat
Padahal sudah hampir jadi

“Ini negara bebas.
Kalian, orangtua, jangan paksa lembaran dunia kami mengeriput sebelum waktunya!”

Lalu ia memanjat pohon
Lincah, zonder takut sedikitpun
Memetik deru angin meresap di dedaunan

***
Dua hari kemarin, lingkar bulan hadir penuh keanggunan
Tadi malam, cahaya hangat memantul awan berarak
Nanti, saat senja tertidur
Entah, tapi aku ingin tahu
Adakah menemaninya

Aku hanya tahu
Sementara kehilangan aksara
Saat merajut kata-kata yang semestinya singkat saja

(010807)

RENUNGAN PERHENTIAN-11 September 2006

Hari ini, duabelas tahun lalu
Satu perjalanan terhenti atau mungkin baru dimulai
Kilasan masa yang bertiup menjauh
Cahaya mata memudar
Lalu tangan berhenti bergetar
Kilau terakhir yang tak sempat bercerita
Mengikuti perjalanan alam, bukan melulu bicara tentang abadi dan mati

Kurentang kesunyian dalam jalinan neuron,
Selalu ada yang terlupakan namun tidak hilang sepenuhnya
Sama seperti senja yang meredup dalam pelukan malam tertidur


Di bukit kapur tua
Bukan dalam sarkopag tinggalan nenek moyang
Nisan kayu penanda jalan pulang
Mercu penantian penggenap kesementaraan

Lalu bayang pagi sudah menjelang tanpa berbicara
Sertakan nyanyian jiwa mengembara

Tertabur mawar ini dalam kesendirian

Semua bercerita tentang samudra penantian

Kami merakit kapal
Mungkin nanti akan berguna
Tertambat di dermaga tepi danau

Aku bercerita tentang lelaki yang tidak terlalu tua
Yang diam dalam kedalaman sorot matanya
Penunggu perahu membawanya pergi
Di seberang dia menanti kami


Pulang
menuju rumah

KEPADA KASIH-PERPISAHAN KITA, KINI

KEPADA KASIH-11 Oktober 2005

Dupa ini yang selalu ingin kuberi padamu, nyalakan
................................setiap ulangtahunku

Tentu bukan sesaji yang kuminta, hanya kenangan
semoga tidak kebanyakan
itupun mungkin terkikis gerimis besok lusa

kenanglah pada teman-teman kita
tentang sungai di kedua bola matamu
hanya saja belum terlihat muaranya

kuharap kau maklum, mengapa aku pergi
dan bukan penginapan yang kucari
.........................penampung sepi
walau lama lelah berlari
lumut merambati
jalan-jalan kulewati

ingin juga kusampaikan rute perjalananku
pada lembaran-lembaran tersusun padamu

mungkin kau tahu

masih sering ‘ku termangu di persimpangan
tersaruk langkah di lorong penuh debu
jalan setapak guguran daun
mungkin menjejak genangan air sehabis hujan
atau dalam hutan tak kau temukan dalam peta

Aku masih ingin mengerti
Perbatasan mana akan terbentang
...........................setelah semua di belakang
Melangkah dalam kabut, adakah cahaya terang di ujung jalan
Untuk menyimpan tetesan embun dari senyummu

Kulewati malam selimutku paling setia
Dan berjalan di bumi buka dua puluh empat jam
Terasa matahari beri energi rambatkan bayang dari jejakan
Sampai hujan kemudian
.....................Walau tak selalu puaskan setiap dahaga

Jiwa berkelana dari senja ke senja berikutnya
..............kapan ‘kan ‘henti
..........aku pun tak tahu seperti apa wajahmu sekarang





PERPISAHAN KITA, KINI-11 Oktober 2005

Melangkahi malam, kau seret jejakmu
buyarkan embun belum tuntas rapatkan barisan
semut-semut hikmat menyambut pergimu
bersihkan semua bekas tercecer
alunan musik tiupkan debu-debu ke seluruh ruang,
lalu mawar mulai tumbuh di meja, ranjang, dinding

Tiba-tiba semua mawar serentak berbunga violet kuning biru hitam merah putih lalu entah apa lagi

Saat waktu melambat
…………………….musik sudah lama diam
semua mawar mati mewangi kian tajam

Dan kuteruskan bacaanku ‘henti di tengah buku
kuputar musikku sendiri dan bernyanyi
tersadar kau tak tutup pintu kau lewati saat pergi
pagi sudah beku sebelum fajar.

Sabtu, 24 November 2007

DI SINI-INGATLAH, SAYANG-BEGINI SAJA-MALAM INI-BETAPA INGIN

DI SINI-24 Oktober 2007
Di sini mawar remuk terinjak
Kebun ramai ilalang
Apa terjadi

Belum sehari aku genap pergi
Jadi asing
semua yang kutinggal dan kujumpa lagi
Mengapa?

Akankah dirimu kutemui
Dalam istana jerami
yang kita bangun bersama tempo hari

Segera kucabut tunas keraguan itu
Sebab kau bukan tawanan
Yang menunggu dalam menara
Pembebas yang ‘kan datang

Sebenarnya aku masih ingin mencoba mempertemukan
Sepiku dan sepimu
Kalau digabung
Akankah menjadi ramai?
Atau, tinggal menjadi sepimu dan sepiku
Begitu saja?
Kembali berjauhan dan enggan menyapa?




INGATLAH SAYANG-10 November 2007
Gerimis dan keraguan
bukan tak ingin berbagi sepenuh
cahaya tembusi celah atap

Ingatlah Sayang
Senyumku belum utuh padamu
ketika
aku cinta kau

kataku

Gerimis dan keraguan
bukan tak ingin berbagi
sepenuh cahaya tembusi celah atap




BEGINI SAJA-24 November 2007
sebab kamarku sudah penuh sesak oleh wajahmu
di mana lagi akan kusimpan kumpulan cintaku yang urung terkirim padamu

biar tidak pusing, ya sudah begini saja
aku masih punya akuarium kata-kata
walau sempit juga,
semoga itu cukup
(setidaknya untuk sementara waktu)
sampai kita bisa bicara kembali



MALAM INI, KUTEMANI KAU-24 November 2007
mungkin cahaya purnama di luar belum cukup bertenaga sirnakan kabut hatimu
maka kuajukan diri menemani lepas senja
tidak bisa lama-lama sebab setelahnya aku harus bekerja
kau tahu sendiri bukan, untuk melunasi mimpi tahun kemarin saja
aku masih harus lembur setiap malam
maafkanlah aku tak juga peka kapan perlu bicara dan diam
sebab percakapan dengan malam telah lama terputus entah di mana
sama seperti kesunyian juga sudah kutinggalkan termangu
sendirinya tuts-tuts piano berdebu hilang denting
kuselipkan doa pada jaring laba-laba di sudut ruang
semoga, saat ‘ku tak juga bisa menghapus derai air matamu
aku tak tambahkan deritamu



BETAPA INGIN-24 November 2007
Betapa ingin aku
mengulang sejenak masa lalu
dengarkan desir angin menyentuh pucuk-pucuk pinus
sambil menatap birunya danau di bawah sana

Betapa ingin aku
sesekali kembali kanak
ceria memandang dunia
lupakan segala cemas yang memberati langkah

Betapa ingin aku
berpegangan jemari denganmu
kalahkan dingin merambat hati
sebab sebentar senja jadi malam

Kutatap purnama malam ini
(entah, masih aadakah waktumu untuk ini semua?)
aku pun sadar
tidak setiap keinginan temukan bentuk
biarlah kenangan tinggal kenangan
maka kusudahi saja angan-anganku
dan kutulis sajak ini
sambil mengingat wajah dan senyummu yang masih belum juga pupus